Pimpinan Daerah Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman (FSP RTMM-SPSI) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menolak rencana aturan kemasan rokok polos tanpa merek. Mereka khawatir kebijakan ini akan memicu gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK).
“Kami berkomitmen untuk memperjuangkan dan melindungi mata pencaharian anggota yang bekerja di industri tembakau,” kata Waljid Budi Lestarianto Ketua Pimpinan Daerah FSP RTMM-SPSI DIY, di Sleman, Jumat (4/10/2024) dilansir Antara.
Menurut Waljid, Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) yang akan menyeragamkan seluruh kemasan rokok, atau dikenal sebagai kebijakan kemasan polos, sangat mengancam kelangsungan hidup para pekerja industri tembakau.
“Kami dengan tegas menolak pasal-pasal bermasalah di PP Kesehatan dan kebijakan kemasan rokok polos pada Rancangan Permenkes. Aturan ini mengancam sumber penghidupan kami, sementara gelombang PHK terus terjadi di mana-mana,” ujarnya.
Industri tembakau, lanjut Waljid, merupakan kebanggaan bagi anggota FSP RTMM-SPSI DIY yang berjumlah sekitar 5.250 orang, karena memberikan penghasilan yang legal dan halal.
Mayoritas anggotanya, terutama di sektor Sigaret Kretek Tangan (SKT), adalah perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga. Industri ini juga menjadi satu-satunya sektor yang mampu menyerap ribuan tenaga kerja dengan pendidikan terbatas.
Waljid menambahkan, industri tembakau tengah menghadapi berbagai tantangan, termasuk Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 (PP Kesehatan) yang melarang penjualan rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan pelarangan iklan di radius 500 meter dari fasilitas publik.
“Masalah ini belum selesai, kini muncul lagi Rancangan Permenkes tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik di tengah masa transisi pemerintahan,” kata Waljid.
Ia juga menyebutkan bahwa industri tembakau sedang berupaya pulih sambil menunggu keputusan terkait cukai tahun 2025 yang dikabarkan tidak akan naik.
“Pimpinan Daerah FSP RTMM-SPSI DIY mendukung keputusan pemerintah untuk tidak menaikkan cukai rokok pada 2025, tapi berharap kebijakan ini tidak digunakan sebagai alasan untuk menaikkan cukai secara drastis pada 2026,” jelasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Danang Maharsa Calon Wakil Bupati Sleman, turut berkomentar. Ia mengajak semua pihak untuk melihat industri tembakau dari sudut pandang positif, mengingat kontribusinya melalui Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT). Menurutnya, tembakau telah memberikan banyak manfaat bagi masyarakat.
Selain menyinggung PP 28/2024 dan Rancangan Permenkes, Danang juga menyoroti Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok (Perda KTR) yang menurutnya perlu dipertimbangkan matang sebelum diterapkan.
“Perlu dipahami bahwa belum semua fasilitas umum di Kabupaten Sleman siap menghadapi aturan ini. Perda ini bukan melarang, tetapi mengatur. Karena itu, kita tidak perlu terburu-buru menerbitkannya,” ungkap Danang.
Danang juga mengkhawatirkan dampak kebijakan yang terlalu ketat, yang menurutnya dapat mengancam serapan tenaga kerja dan memicu PHK, tidak hanya di industri tembakau, tetapi juga di sektor lain.
“Buruh rokok ada sekitar 1.500 orang di Sleman, mereka bergantung pada pabrik rokok. Dengan meningkatnya PHK di sektor tekstil, kami berharap pabrik rokok justru ditambah untuk menampung para korban PHK,” tutupnya. (ant/bil/iss)