Jumat, 22 November 2024

Pakar Hukum Tata Negara: Pencabutan TAP MPR Berbahaya, Bisa Dikatakan Kemunduran Demokrasi

Laporan oleh Billy Patoppoi
Bagikan
Siti Hardijanti Rukmana (mbak Tutut) dan Siti Hediati Haryadi (mbak Titiek) saat menyampaikan permintaan maaf Soeharto bapaknya di acara Silaturahmi Kebangsaan MPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Sabtu (28/9/2024). Foto : Faiz Fadjarudin suarasurabaya.net

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sudah lengkap mencabut nama tiga Presiden yakni Soekarno, Soeharto dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dari Ketetapan (TAP) MPR, per Minggu (29/9/2024) kemarin.

Pimpinan MPR menegaskan bahwa secara yuridis tuduhan terhadap Soekarno Presiden yang dianggap memberikan kebijakan mendukung pemberontakan dan pengkhianatan G-30-S/PKI pada tahun 1965, dinyatakan tidak berlaku lagi sesuai TAP MPR Nomor I/MPR/2003.

Sementara penyebutan nama Soeharto dari TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998 tentang perintah untuk menyelenggarakan yang bersih tanpa korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) dinyatakan telah selesai dilaksanakan karena yang bersangkutan telah meninggal dunia.

Bahkan Bambang Soesatyo (Bamsoet) mengusulkan supaya Soeharto Presiden ke-2 RI yang menjabat selama 32 tahun dapat dipertimbangkan mendapat gelar Pahlawan Nasional.

Hal yang sama juga berlaku untuk TAP MPR terkait Gus Dur. TAP MPR nomor II/MPR/2001 tentang pertanggungjawaban presiden RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur) kedudukannya resmi tak berlaku lagi.

Dari pencabutan TAP itu, MPR berharap Indonesia sebagai bangsa yang besar diharapkan bisa mengambil hikmah atas berbagai peristiwa yang terjadi di masa lampau. MPR menilai peristiwa di masa lalu itu harus dijadikan pelajaran berharga bagi pembangunan karakter nasional bangsa Indonesia di masa kini, dan masa yang akan datang.

Tentu, pencabutan TAP MPR itu mengundang opini publik, terlebih yang berkaitan dengan Soeharto Presiden ke-2 RI. Pasalnya, selama era orde baru atau masa kepemimpinan Soeharto, banyak pihak menilai praktik KKN dan pelanggaran HAM sangat marak.

Terkait hal ini, Ekawestri Prajwalita Widiati Dosen Hukum Tata Negara sekaligus Peneliti Pusat Studi Hukum Hak Asasi Manusia (HRLS) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, ada beberapa catatan atas pencabutan TAP MPR itu.

“Rasanya yang dibangun MPR itu seolah-olah wacana bahwa tidak ada penghukuman terhadap mantan presiden gitu. Ini berbahaya, ini mungkin bisa dikatakan kemunduran dalam demokrasi ya. Jadi, yang pertama, MPR mungkin terkesan ingin mengambil peran sebagai ‘lembaga tertinggi lagi’, dengan mengatakan narasinya, kan, rumah bersama, menjaga persatuan dan kebangsaan,” ujarnya waktu mengudara di program Wawasan Suara Surabaya, Senin (30/9/2024).

Kemunduran itu juga terlihat dari pencabutan TAP MPR yang sebelumnya dinilai banyak pihak akan menyakiti hati para keluarga korban pelanggaran HAM, seolah memaksa mereka untuk memaafkan tragedi masa lampau.

“Menghilangkan penuntasan kasus dengan pemaafan, ya ini berarti kan kita mundur dalam demokrasi dan penegakan hukum. Jadi belum ada yang bisa dilakukan keluarga korban untuk meminta haknya gitu,” tambahnya.

Di satu sisi, dia menilai langkah MPR yang seolah ingin ambil peran sebagai lembaga tinggi dengan melakukan pencabutan TAP sangat janggal. Karena, TAP MPR yang dibuat pada masa lalu sudah memiliki status hukum yang jelas, sehingga seharusnya tidak ada upaya lebih lanjut untuk mencabutnya.

Ia menjelaskan pada masa amandemen konstitusi tahun 1999-2002, status MPR berubah dan tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara. Saat itu, dilakukan pengkajian terhadap berbagai produk ketetapan MPR. TAP MPR Nomor 1 Tahun 2003 pun menjadi pengelompokan status ketetapan-ketetapan tersebut.

Selain itu, TAP MPR Nomor 1 Tahun 2003 juga telah memberikan status yang jelas pada TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998, yang menyebutkan nama Soeharto Presiden.

Lebih lanjut, dia mempertanyakan alasan di balik pencabutan TAP ini, terutama jika dilihat dari aspek hukum. Menurutnya tindakan ini bisa saja dipengaruhi oleh pertimbangan politik dan psikologis, bukan aspek hukum murni.

“Aspek hukum di sini tampaknya dikesampingkan. Ini mungkin lebih banyak terkait dengan persoalan psikologis dan politik, khususnya untuk menghapus nama Soeharto dari dokumen hukum resmi,” ujar Ekawestri.

Terakhir, dia mengatakan sikap memaafkan dan menghapus nama Soeharto dari dokumen hukum sebaiknya tak dilakukan tanpa pertimbangan penyelesaian menyeluruh terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi selama Orde Baru.

“Penegakan hukum yang adil sangat penting, karena jika tidak, kita bisa melihat adanya potensi kemunduran dalam demokrasi dan kepercayaan publik terhadap sistem hukum. Gelar pahlawan bisa saja diberikan, tetapi proses penyelesaian hukum terkait kejahatan-kejahatan negara harus diselesaikan terlebih dahulu,” katanya. (bil/ham)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
31o
Kurs