Senin, 25 November 2024

Polling: Jumlah Menteri yang Banyak Dinilai Tidak Efektif untuk Pemerintahan

Laporan oleh Muhammad Syafaruddin
Bagikan
Hasil Wawasan Polling Suara Surabaya Media mengena jumlah menteri yang banyak, lebih efektif atau tidak untuk pemerintahan? Ilustrasi: Bram suarasurabaya.net

DPR telah menyetujui revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, yang memberi presiden kekuasaan untuk menentukan jumlah kementerian tanpa batasan. Ini menimbulkan wacana tentang kemungkinan kabinet gemuk di bawah Prabowo Subianto presiden terpilih, mengingat dukungan luas dari koalisi partai.

Sejak berakhirnya Orde Baru, jumlah kementerian di kabinet telah berubah sesuai dengan presiden dan kebutuhan pemerintahan.

Pada era Abdurrahman Wahid, jumlah kementerian mencapai 37. Lalu turun menjadi 33 di era Megawati Soekarnoputri. Era Susilo Bambang Yudhoyono memiliki 36 menteri, sedangkan Joko Widodo memiliki 34 menteri dengan beberapa perombakan.

Di era Prabowo-Gibran, ada wacana untuk menambah jumlah kementerian hingga 44, yang menimbulkan tantangan baru dalam pengelolaan anggaran dan efisiensi pemerintahan.

Menurut Anda, jumlah menteri yang banyak lebih efektif atau tidak untuk pemerintahan?

Dalam diskusi di program Wawasan Polling Suara Surabaya pada Kamis (26/9/2024), mayoritas peserta polling menilai jumlah menteri yang banyak, tidak efektif untuk pemerintahan.

Dari data Gatekeeper Radio Suara Surabaya, 75 persen peserta polling menyebut jumlah menteri yang banyak, tidak efektif untuk pemerintahan. Sedangkan 25 persen lainnya menyebutnya efektif.

Kemudian dari data di Instagram @suarasurabayamedia, 81 persen voters peserta polling menilai bahwa jumlah menteri yang banyak tidak efektif untuk pemerintahan. Sedangkan 19 persen lainnya menyebut tidak efektif.

Menyikapi hal tersebut Haidar Adam pakar hukum tata negara Universitas Airlangga (Unair) menegaskan bahwa tata negara tidak bisa dilepaskan dari fungsi eksekutif.

Artinya, dalam sistem pemerintahan presidensial, presiden punya hak prerogatif untuk mengangkat dan memberhentikan, sekaligus membubarkan, mengubah, menterinya.

“Masalahnya hari ini adalah momentum. Sehingga banyak pihak yang mengaitkannya dengan kekuasaan, fenomena bagi-bagi jabatan itu tak bisa dihindarkan,” katanya saat mengudara di Radio Suara Surabaya, Kamis pagi.

Haidar menerangkan, perubahan undang-undang kementerian ini dilakukan dalam waktu sangat yang cepat. Hal inilah yang membuat publik bertanya mengenai urgensi dari perubahan ini.

“Kalau melihat timeline, pada 2012 lalu MK telah membuat keputusan terkait UU tentang Kementerian Negara. Pada saat itu yang ramai diperbincangkan perihal wakil menteri. Sebetulnya, momentum itu yang lebih pas untuk mengajukan perubahan UU tentang Kementerian Negara setelah ada putusan MK,” jelasnya.

Jadi, lanjut Haidar, ketika perubahan UU tentang Kementerian Negara itu dilakukan dewasa ini, maka hal itu mengundang pertanyaan dari banyak khalayak.

“Bahwa nanti apakah sesuai dengan kebutuhan masyarakat, atau hanya untuk mengakomodir orang-orang tertentu yang nanti akan ditempatkan dalam Kementerian Negara,” jelasnya.

Secara normatif, ketentuan perubahan, pembentukan, penghapusan kementerian negara itu diatur dalam Undang-Undang. Dalam hal ini ada keterlibatan presiden dan DPR.

“Jika presiden dan DPR sudah bersepakat untuk membuang undang-undang, maka tidak ada hal lain yang bisa menghalang proses itu. Tapi dalam prosesnya, yang harus dipahami adalah, harus banyak melibatkan publik,” terangnya.

Ia menambahkan bahwa partisipasi publik bersifat penting, supaya Rancangan Undang-Undang (RUU) yang akan disahkan menjadi lebih diterima karena sudah melalui perbincangan publik yang luas.

Mengingat proses yang begitu singkat, Haidar menyebut RUU Kementerian Negara ini tidak masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Sehingga proses delibrasi terhadap substansi dari RUU ini menjadi sangat minimal.

“Ini yang bisa jadi memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya skeptif terhadap RUU Kementerian Negara,” ujar Haidar.

Haidar menambahkan bahwa UU Kementerian Negara harus bisa mengakomodir dan melakukan evaluasi. Jika presiden baru akan membentuk, mengubah, atau menghapus, harus melalui kajian komprehensif. Ia menegaskan, harus ada ketegasan agar tidak ada tumpang tindih kewenangan antarkementerian.

“Sebetulnya, jumlah (kementerian) itu ada di belakangan. Harus dikaji dulu kebutuhan masyarakat. Baru kemudian lembaga dibentuk sesuai kebutuhan, bukan sebaliknya,” pesannya. (saf/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Senin, 25 November 2024
26o
Kurs