David Hermawan dosen pertanian dan peternakan Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) menyebut wacana pemerintah untuk mengimpor satu juta sapi dalam rangka mendukung program makan bergizi gratis yang diusung pemerintahan Prabowo-Gibran, akan memicu multiplier effect.
Sebelumnya pemerintah lewat Kementerian Pertanian (Kementan) beberapa waktu lalu menyatakan perlu masing-masing satu juta ekor sapi perah dan sapi potong selama lima tahun ke depan, untuk mendukung program tersebut.
Di sisi lain, menurut Kementan jumlah sapi yang ada di Tanah Air saat ini tak cukup untuk mendukung program yang bakal meng-cover sebanyak 82 juta jiwa, khususnya dalam pemenuhan kebutuhan protein dari susu.
Dari program itu kebutuhan susu secara tahunan bertambah sekitar empat juta ton, dari kebutuhan susu setahun selama ini yang hanya 4,4 juta ton. Jadi totalnya sekitar 8,5 juta ton saat program berjalan.
“Artinya kan protein hewan sama ikan yang harus dominan. Nah tentunya kan butuh daging dan susu yang banyak. Di sisi lain sapi perah di Indonesia ini sebelum kena virus PMK (penyakit mulut dan kuku) ini kan cuma 350.800 ekor, nah setelah kena PMK kan jadi turun populasinya,” jelas David waktu mengudara di program Wawasan Suara Surabaya, Senin (23/9/2024), membahas soal impor sapi untuk penuhi kebutuhan program Makan Bergizi.
David menuturkan pun jika ada perbaikan populasi sehingga menjadi 500 ribu ekor, penyediaan susu hanya bisa enam juta liter per hari. Tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan program makan bergizi tersebut. Padahal menurutnya, 82 juta orang dari target program seluruhnya harus dapat makan bergizi secara merata.
Karenanya, Dewan Pembina Asosiasi Pergeruan Tinggi Ilmu Pertanian Swasta Indonesia itu mengaku menyambut baik program impor sapi ini, karena selain memenuhi kebutuhan gizi juga akan memicu multiplier effect di sektor ekonomi.
“Selain akan menambah populasi sapi, tentunya multiplier efeknya itu meningkatkan perekonomian regional, terutama di pedesaan, peningkatan terapan tenaga kerja,” ujarnya.
Untuk mendukung multiplier effect itu, David menyebut bisa dengan menggandeng masyarakat sebagai mitra, khususnya yang punya kemampuan beternak.
Apalagi impor jutaan sapi dari luar negeri juga harus dipikirkan siapa pihak yang akan memelihara, kesediaan pakannya, hingga adaptasinya. Mengingat sapi-sapi tersebut diimpor dari negara dengan iklim yang beda.
“Indonesia berlimpah kok pakan itu. Kalau (iklim), kan bisa zonanisasi, kalau hidupnya dingin 21 derajat bisa di Jawa Timur itu, Batu, Tretes, kalau Jawa Tengah di Temanggung dan Wonosobo, Jawa Barat ada Garut. Jadi banyak, yang penting teknologi harus disiapkan,” ujarnya.
Sementara soal anggapan pengamat jika kebijakan impor sapi akan memberatkan neraca perdagangan pangan nasional, dia mengatakan hal itu salah.
“Kan supply and demand, masa kita kalau setiap butuh susu harus impor dari negara lain? ya bawa aja indukannya (sapi) langsung yang kita datengin. Di Korea juga sama, dia juga impor sapi. Jadi salah (anggapan) itu,” bebernya.
Dia berharap masyarakat tidak takut berlebihan kalau impor satu juta sapi itu justru akan menggangggu perekonomian. “Kalau tidak sekarang kapan lagi, kalau bukan kita siapa lagi,” tutupnya. (bil/ham)