Jumat, 22 November 2024

Pakar SDM: Ketidaksesuaian Keterampilan Seringkali Jadi Penghambat Penyerapan Tenaga Kerja

Laporan oleh Billy Patoppoi
Bagikan
Ilustrasi seorang HRD membaca Curiculum Vitae pelamar kerja. Foto: iStock

Riset POPULIX beberapa waktu lalu mencatat 46 persen perusahaan kesulitan mencari calon karyawan. Hasil riset itu keluar seiring tingginya angka PHK di Tanah Air yang menurut data Kementerian Tenaga Kerja (Kemnaker), angkanya mencapai 44.195 orang sampai pertengahan Agustus.

Terkait hal ini, Abdul Aziez Konsultan Manajemen SDM dan produktivitas Dari NLP Consult Indonesia mengatakan kondisi ini sebetulnya bukan fenomena baru, dan sudah terjadi selama bertahun-tahun.

“Permintaan tenaga kerja dari perusahaan terus berjalan, namun ketersediaan tenaga kerja yang cocok sulit ditemukan. Di sisi lain, banyak pekerja yang sedang mencari pekerjaan namun belum menemukan yang sesuai,” ujar Aziez waktu mengudara di program Wawasan Suara Surabaya, Rabu (28/8/2024).

Menurutnya, salah satu alasan utama di balik kesulitan perusahaan dalam mencari tenaga kerja adalah adanya ketidaksesuaian keterampilan, baik teknis maupun non-teknis, antara pelamar kerja dan kebutuhan perusahaan.

Banyak generasi muda yang dinilai pintar, tapi mereka sering kali tidak memiliki keterampilan teknis yang spesifik sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Selain itu, beberapa perusahaan juga punya standar keterampilan non-teknis seperti komunikasi dan kemampuan bekerja sama, yang termasuk dalam kategori employability skill.

Soft skill sangat diperlukan untuk mendukung keterampilan teknis. Misalnya, kemampuan komunikasi dan bekerja sama, yang sangat dipengaruhi oleh budaya dan lingkungan kerja perusahaan,” tambahnya.

Dalam konteks ini, Aziez menilai pemerintah sebetulnya sudah berupaya menjembatani kesenjangan ini melalui berbagai program vokasi dan pemagangan.

Program-program ini memberikan kesempatan bagi para calon pekerja untuk mencicipi dunia kerja sebelum dipekerjakan secara permanen. Namun, tingkat partisipasi dalam program magang masih terbatas, terutama bagi lulusan SMA.

Lebih lanjut, dia juga menyinggung mengenai tuntutan gaji yang tinggi dari generasi muda saat ini, terutama Gen Z. Menurutnya, permasalahan ini muncul karena pelamar kerja sering kali melihat gaji berdasarkan kebutuhan pribadi, sementara perusahaan menentukan gaji berdasarkan job value atau nilai pekerjaan tersebut.

“Bagi perusahaan, setiap pekerjaan sudah ada nilai yang melekat, termasuk faktor kesulitan, risiko, dan tanggung jawab. Jadi, ketika pelamar kerja menanyakan gaji di awal, itu sebenarnya wajar, karena hubungan kerja memang harus transparan sejak awal,” jelasnya.

Meski demikian, dia juga menekankan pentingnya calon pelamar kerja untuk realistis dalam menentukan tuntutan gaji, serta menyesuaikan dengan pekerjaan yang memiliki nilai tinggi jika ingin mendapatkan gaji yang besar.

Untuk solusi bagi perusahaan yang menghadapi biaya tenaga kerja yang tinggi, dia menganjurkan salah satunya melalui sistem outsourcing atau kemitraan, di mana sebagian pekerjaan dikerjakan oleh mitra eksternal untuk menekan biaya operasional perusahaan tanpa mengurangi kualitas produk atau jasa.

“Sebagai mitra gitu jadi perusahaan tetap jalan, bisnisnya, tapi beban biaya ketenagaan kerjanya tid terlalu tinggi itu salah satu jalan keluarnya,” ujarnya. (bil/iss)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
33o
Kurs