Koalisi Lintas Organisasi Pers menyatakan dan menyerukan sejumlah poin di tengah kegaduhan politik Indonesia saat ini. Mereka berharap media menjadi benteng demokrasi di tengah ancaman oligarki.
Koalisi Lintas Organisasi Pers terdiri dari sembilan organisasi, mulai dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (SIEJ).
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jaya, Pewarta Foto Indonesia (PFI), Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK), Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI), dan Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet)
Koalisi Lintas Organisasi Pers menyebut demokrasi di Indonesia kembali berada dalam ancaman serius. Tanda-tanda kemunduran demokrasi semakin terlihat dari situasi politik terkini, di mana kelompok penguasa berusaha merongrong konstitusi demi kepentingan kekuasaan pragmatis.
Elit kekuasaan secara terang-terangan mengabaikan dua putusan Mahkamah Konstitusi yang baru saja dikeluarkan. Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 melonggarkan ambang batas pencalonan kepala daerah bagi semua partai politik, dan Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024 menegaskan bahwa batas usia pencalonan kepala daerah harus dipenuhi pada saat pendaftaran.
Mereka menyebut, penganuliran dua putusan lembaga konstitusi tertinggi ini dilakukan secara arogan melalui proses legislasi kilat terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada, yang jelas-jelas tidak mematuhi asas pembentukan peraturan perundang-undangan.
Aroma tidak sedap tercium di balik revisi undang-undang Pilkada ini setelah putusan MK, menimbulkan pertanyaan serius mengenai masa depan konstitusi dan demokrasi kita.
Ini bukan pertama kalinya penyimpangan kekuasaan terjadi dalam proses legislasi. Sejumlah regulasi krusial, seperti Undang-Undang (UU) Cipta Kerja, UU Minerba, revisi UU KPK, dan UU Ibu Kota Negara (IKN), telah disahkan dengan cepat tanpa transparansi dan partisipasi masyarakat.
Padahal, masih banyak RUU yang lebih mendesak bagi kepentingan publik, seperti RUU Masyarakat Adat, RUU Perampasan Aset, dan Perlindungan Data Pribadi.
Dalam kondisi ini, pers dan jurnalis sebagai pilar keempat demokrasi tidak boleh tunduk pada upaya kekuasaan yang ingin melumpuhkan demokrasi.
Jika Putusan MK bisa dianulir dalam waktu singkat, tidak mustahil undang-undang yang menjamin kebebasan pers, berpendapat, dan berekspresi juga akan mudah dilucuti, mengantarkan kita ke era kegelapan.
Hal ini pernah terjadi dalam rencana revisi undang-undang penyiaran yang cenderung memberikan kontrol lebih besar kepada negara terhadap isi siaran.
Dalam situasi ini, pers profesional seharusnya memberikan kritik tajam terhadap pemerintah demi melindungi kebebasan dan demokrasi.
Meskipun pemerintahan Jokowi tidak melakukan pembredelan media, berbagai praktik yang terjadi justru mengancam kebebasan pers, berpendapat, dan berekspresi.
Contohnya adalah peningkatan kekerasan terhadap jurnalis, represi terhadap kritik di ranah digital, dan upaya “membeli” ruang redaksi untuk membangun citra positif atas kebijakan kontroversial yang ditentang rakyat.
Oleh karena itu, Koalisi Lintas Organisasi Pers menyuarakan empat sikap, yakni:
1. Demokrasi kita terancam, dan pers wajib membelanya.
2. Media dan jurnalis harus tetap independen dan profesional dalam memberitakan kebenaran serta tidak takut menyajikan informasi yang akurat, kritis, dan terverifikasi, serta tidak mudah diintervensi.
3. Di tengah situasi politik yang kisruh saat ini, pemerintah harus menjamin perlindungan bagi media dan jurnalis dalam menjalankan kerja jurnalistik untuk melaporkan informasi kepada publik.
4. Pemerintah harus menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi warga negara dengan tidak menekan pendapat dan kritik di berbagai kanal, termasuk ruang digital.
(saf/ipg)