Jumat, 22 November 2024

Pakar Hukum Tata Negara Unair Nilai Pelanggaran Konstitusi Belakangan Tidak Lazim

Laporan oleh Billy Patoppoi
Bagikan
Mahkamah Konstitusi. Foto: mahkamahkonstitusi.go.id

M. Syaiful Aris Dosen Fakultas Hukum Tata Negara Universitas Airlangga (Unair) Surabaya mengatakan pelanggaran serius terhadap konstitusi yang terjadi, lewat perubahan peraturan baik jelang Pilpres maupun Pilkada belakangan, menjadi catatan yang tidak baik dalam cara tata bernegara.

“Suatu proses, ketika masuk dalam suatu tahapan, ketentuannya kan sudah diatur persyaratannya seperti apa dan mekanismenya seperti apa. Tetapi kemudian dalam waktu yang singkat, ketentuan yang sudah diatur itu bisa diubah dengan cepat. Sehingga kalau kita lihat ya tentu itu tidak pada lazimnya,” ujarnya kepada Radio Suara Surabaya, Rabu (21/8/2024).

Menurutnya, dasar negara dibuat untuk dipatuhi supaya semuanya berdasarkan pada konstitusi, sehingga aturan main bernegara itu menjadi sesuatu yang berwibawa.

Untuk diketahui, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Rabu (21/8/2024) hari ini sepakat membawa draf Revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) ke Rapat Paripurna yang rencananya digelar, Kamis (21/8/2024) besok.

Dalam RUU itu, Baleg DPR RI tidak mengakomodasi semua putusan Mahkamah Konstitusi (MK), khususnya putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024. Seperti, soal batas usia minimal calon gubernur dan wakil gubernur di pasal 7.

Baleg memilih mengadopsi putusan Mahkamah Agung (MA) dibandingkan MK. Dengan demikian, batas usia calon gubernur ditentukan saat pelantikan calon terpilih. Dengan kata lain “Baleg tidak menggubris Putusan MK.”

Hal inilah, yang kemudian disebut Pakar Hukum Tata Negara Unair itu menjadi pelanggaran serius terhadap konstitusi.

“Ini pelanggaran serius terhadap konstitusi dan UUD. Karena di Pasal 24 C UUD kita sebagai dasar kehidupan bernegara, Ayat 1 itu jelas menyatakan, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD,” tegasnya.

Apa yang bisa dilakukan masayrakat menanggapi kemelut demokrasi ini? kata Aris, sebetulnya bisa dengan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.

“Tetapi kalau kemudian apa yang sudah di judicial review itu kemudian diubah semaunya sendiri oleh DPR, itu kan menunjukkan ketidak penghormatan terhadap konstitusi dan lembaga makamah konstitusi, dan itu kan menjadi sebuah catatan yang tidak baik dalam konteks tata negara kita,” bebernya.

Karenanya, salah satu yang bisa dilakukan masyarakat adalah mengkritisi kondisi yang ada saat ini. Termasuk salah satunya, bersuara lewat media sosial memposting “Peringatan Darurat Garuda Biru dan Kawal Putusan MK Trending di Media Sosial.”

“Nah itu sebagai bentuk ekspresi ketika mekanisme hukum secara formal yang seharusnya dihargai prosedurnya tidak digunakan sebagai sebuah proses,” ujarnya.

Sementara untuk dampaknya terhadap Pilkada November mendatang, Aris berpendapat akan sangat bergantung pada pilihan masyarakat. Mengingat sistemnya yang dipilih secara langsung oleh masyarakat.

“Penentuan kandidat memang bisa perseorangan maupun yang diusulakn partai politik, tapi yang menentukan adalah masyarakat, karena Pilkadanya adalah secara langsung,” pungkasnya. (bil/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
28o
Kurs