Pemerintah melakukan pengetatan regulasi terkait susu formula bayi dan produk pengganti ASI lainnya dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 yang merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
Dalam PP Nomor 28 Tahun 2024, tercantum larangan bagi produsen dan distributor susu formula bayi serta produk pengganti ASI lainnya untuk melakukan kegiatan yang dapat menghambat pemberian ASI eksklusif. Larangan ini mencakup pemberian sampel gratis, penawaran kerja sama kepada fasilitas kesehatan, pemberian potongan harga, hingga promosi melalui media massa dan media sosial.
Peraturan ini diharapkan dapat mendukung program ASI eksklusif. Sebab, keberadaaan susu formula selama ini kerap dituding sebagai penyebab gagalnya ASI ekslusif. Meski demikian, kebijakan tersebut menuai pro dan kontra dan menjadi perdebatan publik. Beberapa ibu menyebut masih membutuhkan produk susu alternatif sebagai tambahan pemenuhan ASI kepada anaknya.
Menanggapi peraturan baru tersebut, Prof. Budi Santoso Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (Unair) mengatakan, secara umum mayoritas RS di Surabaya telah menunjukkan komitmen dalam menerapkan kebijakan tentang regulasi susu formula, seperti yang tertuang dalam PP 28/2024.
Terdapat empat poin yang disebutkan Prof BUS sapaan akrab Prof. Budi Santoso terkait pelaksanaan regulasi ini di rumah sakit (RS) Surabaya.
“Pertama, adanya pengawasan ketat di fasilitas kesehatan (faskes). Sebagian besar RS telah memastikan tidak ada iklan atau promosi berlebihan terhadap susu formula di lingkungan RS,” terangnya saat ditemui suarasurabaya.net, Selasa (20/8/2024).
Poin kedua dalam pelaksanaan regulasi ini, lanjut Prof BUS, adalah dengan melakukan promosi pentingnya air susu ibu (ASI) eksklusif, yang dianjurkan sejak anak lahir hingga berusia enam bulan. Dan dilanjutkan sampai anak berusia dua tahun dengan tambahan pemberian makanan pendamping ASI (MPASI).
“Promosi ini termasuk dengan memberikan edukasi kepada ibu baru tentang manfaat ASI dan memberikan dukungan menyusui yang memadai,” tambahnya.
Sementara poin ketiga adalah melakukan penyuluhan dan konseling.
Menurut Prof BUS, di banyak RS di Surabaya telah disediakan layanan konseling laktasi untuk memberikan bimbingan cara menyusui yang benar.
“Poin terakhir adalah kepatuhan rumah sakit terhadap kebijakan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dengan menegakkan aturan pemberian susu formula yang hanya berdasarkan resep dokter,” ungkap Prof BUS.
Adapun penerapan regulasi terkait susu formula ini menjadi tantangan tersendiri bagi rumah sakit. Terlebih soal konsistensi dalam penerapannya.
“Mungkin yang menjadi kendala bagi rumah sakit atau klinik yang belum konsisten adalah kurangnya sumber daya atau pelatihan staf,” tuturnya.
Meski begitu, Prof BUS menyatakan, secara keseluruhan rumah sakit di Surabaya telah menunjukkan progresif dalam penerapan regulasi ini.(kir/iss/ipg)