Jumat, 22 November 2024

Perdamaian Palestina Dinilai Sulit Terwujud Pasca Terbunuhnya Ismail Haniyeh

Laporan oleh Muchlis Fadjarudin
Bagikan
Ismail Haniyeh pemimpin tertinggi kelompok Hamas Palestina berbicara dalam konferensi pers di Teheran, Iran pada 26 Maret 2024. Foto: Reuters

Ade Padmo Sarwono Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh (LBBP) RI untuk Yordania merangkap Palestina mengaku pesimis perdamaian di Palestina bakal terwujud pasca terbunuhnya Ismail Haniyeh Pemimpin Hamas di Iran.

“Terbunuhnya Ismail Haniyeh akan memperkuat konsolidasi persatuan di Palestina. Mereka akan mengubah kembali jalur diplomasi dan negosiasi untuk mencapai kemerdekaan, dengan senjata lagi. Situasi ini akan memperkeras perjuangan melalui senjata,” kata Ade Padmo dalam diskusi daring dengan tema ‘Rekonsiliasi Hamas -Fatah dan Diplomasi Baru China di Timur Tengah”, Rabu (31/7/2024) sore.

Perjanjian antara Hamas dan Fatah dalam ‘Deklarasi Beijing’, kata Ade Padmo, sebenarnya menjadi hal menarik, karena untuk pertama kali kesepakatan di antara faksi-faksi di Palestina ditandatangani di luar Timur Tengah.

“KIta sebenarnya menyambut baik rekonsiliasi nasional di antara faksi-faksi Palestina. Tetapi situasi hari ini menyebabkan temperatur di kawasan Timur Tengah naik, ketegangan semakin tinggi. Nampaknya akan semakin sulit dan semakin susah untuk mencapai gencatan senjata yang saat ini,” katanya.

Sementara itu, Siti Mutiah Setiawati Pengajar dan Peneliti Hubungan International Universitas Gadjah Mada menilai, China berhasil mengambil kesempatan ketika Amerika Serikat (AS) sedang tidak populer. Ini akibat dukungannya kepada Israel dan membiarkan adanya pembantaian terhadap rakyat Palestina.

“Dalam teori negosiasi, China berhasil membawa pihak-pihak yang berkonflik ke wilayah netral untuk didamaikan. Tetapi itu, tidak cukup hanya menjadi fasilitator, karena kesepakatannya tidak mengikat. China harusnya menjadi mediator, bukan fasilitator,” kata Siti Mutiah Setiawati.

Dengan menjadi mediator, lanjut dia, China bisa mendorong adanya ‘agreement treaty’ atau MoU antara Hamas dan Fatah agar dilaksanakan dalam rangka membangun negara Palestina merdeka. Hal itu tidak akan tercapai, apabila China sekadar memfasilitasi perundingan saja.

“Indonesia sebenarnya punya pengalaman menjadi mediator dalam menangani masalah Kamboja. Mereka yang bertikai diundang ke Jakarta untuk meeting, dan masalah Kamboja tuntas sampai sekarang,” katanya.

Artinya, Indonesia sebenarnya punya pengalaman menjadi mediator dalam penyelesaian konflik dibandingkan China. Apalagi Indonesia juga memiliki kedekatan dengan faksi-faksi di Palestina, serta mendukung kemerdekaan Palestina.

“Peran ini bisa dimainkan Indonesia, karena kesuksesan Deklarasi Beijing ini sangat tergantung pada Hamas dan Fatah sendiri yang berunding. Nah, Indonesia bisa masuk menjadi mediator,” ujarnya.

Imron Cotan Duta Besar RI untuk Australia dan Tiongkok, 2003-2013 menambahkan, konflik di Timur Tengah menjadi momentum bagi negara-negara middle power seperti Indonesia untuk mendorong kemerdekaan Palestina.

“Presiden terpilih kita (Prabowo Subianto) ini orang yang mengerti betul politik regional dan global. Lihat saja, beliau sudah berkunjung kemana saja dari Prancis masuk Serbia, lalu Turki dan sekarang ke Rusia,” kata Imron Cotan.

Prabowo, kata Imron Cotan, memberikan perhatian penuh terhadap isu-isu global seperti konflik di Timur Tengah dan perang Rusia-Ukraina. Sebab, kerusuhan di tingkat global akan mempengaruhi jalur logistik dan pertumbuhan ekonomi Indonesia.

“Saya kira Presiden terpilih akan memimpin negosiasi dan diplomasi secara langsung, karena beliau mengetahui betul politik luar negeri Indonesia. Prabowo memberikan perhatian penuh terhadap isu-isu global, termasuk mendukung kemerdekaan Palestina,” katanya. (faz/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
32o
Kurs