Jumlah kelas menengah Indonesia semakin mengecil karena tekanan kenaikan harga bahan pangan dan menurunnya pendapatan.
Besarnya tekanan kelas menengah terlihat dari melonjaknya pengeluaran untuk pangan, menurunnya penjualan motor, mobil, meningkatnya pekerja informal di Indonesia, sampai pesimisme melihat ekonomi Indonesia.
Prof. Wasiaturrahma Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Airlangga (Unair) mengatakan, jumlah kelas menengah di Indonesia terus merosot sejak 2019.
Berdasarkan data dari Bank Dunia, jumlah kelas menengah pada 2018 sebesar 23 persen dari jumlah penduduk. Lalu pada 2019, tersisa 21 persen.
Pada tahun 2023, jumlah kelas menengah kembali anjlok menjadi 17 pesen. Kemudian kelompok tentang menuju kelas bawah pada 2018 itu 47 persen, kemudian 2019 menjadi 48 persen, dan kembali meningkat pada 2023.
“Artinya, sejak tahun 2019 itu kelas menengah sedang mengalami penurunan kelas,” jelas Wasiaturrahma dalam program Wawasan Radio Suara Surabaya, Selasa (30/7/2024) pagi.
Sementara itu, rata-rata kenaikan Upah Minimum Regional (UMR) pada 2020 hingga 2024 hanya 4,9 persen
“Artinya kenaikan pendapatan tidak mampu membendung tingginya inflasi. Sehingga konsumsi cenderung stagnan. Jadi penyebab stagnanya daya beli masyarakat dipicu dengan adanya deindustrialisasi dini,” jabarnya.
Wasiaturrahma menjelaskan, deindustrialisasi dini merupakan kondisi tertentu digambarkan dengan penuruan sektor manufaktur dalam Produk Domestik Bruto (PDB). Fenomena ini terjadi umum di negara berkembang.
“Deindustrialisasi dini membuat jumlah pekerja forman turun. Dari porsinya sebesar 60 persen pada 2014, menjadi 30-40 persen pada 2024. Ini menyebabkan pekerja informal membengkak. Efeknya, rasio pajak terhadap PDB ikut merosot,” ujarnya.
“Maka tidak heran jika kelas menengah di Indonesia ini terus turun. Masyarakat yang memiliki pendapatan jelas, semakin minim jumlahnya,” sambung Wasiaturrahma.
Pandemi Covid-19 di Indonesia pada 2020-2021 membuat banyak masyarakat pekerja yang dirumahkan. Hal itu membuat daya beli menurun. Juga kaitannya dengan ekonomi global.
Sehingga, dampak pandemi Covid-19 itu membuat semua negara terimbas. Baik itu pertumbuhan ekonomi negara maju maupun berkembang.
“Indonesia sebenarnya tak jelek jika dibandingkan dengan negara lain. Indonesia masih dalam taraf bagus. Tapi memang untuk menggerakkan kembali sektor manufacturing itu butuh proses. Sehingga secara otomatis pendapatan itu tidak secara signifikan meningkat,” jabarnya.
Kondisi pekerja formal saat ini, yang banyak diminati kelas menengah, terhimpit. Apabila tidak segera ditolong, maka akan terancam turun ke warga miskin.
“Melihat kondisi kelas menengah yang tertekan ini, pemerintah seharusnya tidak mengeluarkan kebijakan yang kontraproduktif dengan daya beli masyarakat,” harapnya.
Selain itu, pemerintah diminta memastikan agar inflasi tetap terjaga. Juga memberikan satu dukungan kepada kelas menengah, seperti menyediakan pekerjaan yang cocok. (saf/ham)