Sabtu, 23 November 2024

Saksi Sekaligus Korban Kudatuli Ceritakan Mencekamnya Sabtu Kelabu

Laporan oleh Muchlis Fadjarudin
Bagikan
Ribka Tjiptaning Ketua DPP PDIP sekaligus pelaku sejarah peristiwa Kudatuli saat menceritakan kejadian penyerbuan kantor PDI Pro Mega, jalan Diponegoro, Jakarta Pusat. PDIP menggelar peringatan 28 tahun Kudatuli di kantor DPP, Sabtu (28/7/2024). Foto : Faiz Fadjarudin suarasurabaya.net

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) memperingati 28 tahun peristiwa serangan kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pada 27 Juli 1996 atau yang dikenal dengan sebutan Kudatuli, pada hari ini, Sabtu (27/7/2024).

Bonnie Triyana Kepala Badan Sejarah Indonesia DPP PDIP mengatakan, Kudatuli adalah cikal bakal adanya reformasi dan semangat demokrasi di Indonesia.

“Karena tanpa peristiwa 27 Juli 1996 mungkin tidak ada reformasi. Kalau tidak ada peristiwa Kudatuli, mungkin tidak ada pemilihan presiden secara langsung. Kalau tidak ada Kudatuli, tidak ada orang punya mimpi walaupun dia berangkat dari keluarga sederhana, tidak ada orang-orang yang punya kesempatan yang bisa melakukan lentingan yang tinggi sebagai pejabat publik, sebagai pemimpin pada peristiwa ini. Sehingga hari ini kita peringati dengan sungguh-sungguh,” kata Bonnie.

Dalam acara tersebut juga mendengarkan beberapa kesaksian para korban Kudatuli, salah satunya David MC.

“Kalau cerita 28 tahun yang lalu, jam-jam segini situasinya juga mencekam. Kita bisa dapat merasakan bagaimana mereka menyerang. Di situ (kantor DPP PDI) kita bertahan, kita bergelimpangan di sini. Lalu kemudian di luar sana chaos terjadilah bakaran di mana-mana,” ungkap David.

David pun menceritakan, para aktivis sampai mahasiswa terus turun ke jalan, bahkan sebelum peristiwa Kudatuli ada tragedi di Gambir.

“Kita long march, kita ke Gambir, kita diserbu aparat, lalu kita mundur ke sini lalu kemudian kita buat mimbar bebas, tepatnya di sini (DPP PDI). Yel-yel yang sangat menggema saat itu adalah Mega pasti Menang. ‘Mega pasti menang, pasti menang, pasti menang. Mega, Mega, Mega, yes’,” cerita dia.

Hal senada juga diceritakan oleh Ribka Tjiptaning korban lainnya yang kini juga menjabat sebagai Ketua DPP PDIP.

“Peristiwa Gambir itu kita mau ke Depdagri tapi kita dihadang di Gambir semua kita diserbu. Saya sempat diselamatkan Ketua DPC Jakarta Barat. Saya mendapatkan tugas dari ibu ketua umum, karena saya dokter untuk menjaga kesehatan siapa yang hadir di tempat di sini. Dari semua kelompok-kelompok, ada mahasiswa, PIJAR, ALDERA, FORKOT, ada PRD, juga PDI Segi Lima,” tutur Ribka.

Ribka mengungkapkan, sebenarnya sudah jauh-jauh hari mendengar kabar penyerbuan, yang kemudian jatuh pada 27 Juli 1996.

“Akhirnya jadi sabtu kelabu. Makanya, 28 tahun ini luar biasa, pas jatuh di hari sabtu. Sabtu jam 05.00 pagi, belum ada handphone, adanya pager ‘DPP sudah diserbu’,” tutur dia.

Ribka yang mendengar kabar tersebut, langsung lari dari Ciledug dan hanya bisa sampai di YLBHI.

“Di YLBHI saya merawat orang dan menjahit. Klinik saya di sini (DPP PDI) sudah hangus. Saya suruh teman di PRD ke klinik, saya menjahit benang jahit baju tanpa bius. Termasuk Munir kelingking sebelah kiri dihantam, dia remuk,” cerita dia.

Meski tanpa bius, dan benang jahit baju, menurut Ribka tak ada infeksi. “Karena itulah setiap tahun saya mendisiplinkan diri untuk selalu memperingati dan hadir,” tuturnya.

Pasalnya, 27 Juli 1996 adalah tonggak reformasi. Di mana menurutnya, tanpa reformasi, tidak ada anak buruh bisa jadi gubernur. “Tidak ada petani bisa jadi bupati wali kota, tidak ada anak tukang kayu jadi presiden,” tutur Ribka.

Ribka juga mengungkapkan, 27 Juli bukanlah hanya milik PDIP, tapi juga sejarah bangsa Indonesia. Sehingga tak boleh ada pihak uang mengkerdilkan Kudatuli, karena itu adalah simbol perlawanan terhadap rezim yang mencoba membungkam suara rakyat.

“Kalau dulu pakai penculikan. Kalau sekarang pakai perangkat hukum kalau tidak sejalan sama pemerintah, pakai perangkat hukum dicari-dicari. Harapannya korban 27 juli supaya ini terselesaikan. Dorongan kita harus masuk ktiteria pelanggaran HAM berat,” jelasnya.

Dalam acara tersebut, putra Wiji Thukul Fajar Merah menyanyikan dua buah lagu yang berdasarkan dari tulisannya sendiri. Adapun dua lagu itu berjudul Tersesat dari Gulita dan Nyanyian Kami.

Menurut dia, lagu Tersesat dari Gulita terinspirasi karena banyak tragedi di Indonesia ini.

“Di mana kita menjadi buta, bahwa kita sama-sama manusia tetapi banyak konflik yang menumbuhkan kebencian. Justru yang dihilangkan adalah kebencian tersebut,” kata Fajar sebelum menyanyikan lagu tersebut.(faz/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
26o
Kurs