Mahasiswa Kimia ITS Surabaya berhasil mengolah gas metana yang berbahaya menjadi gas sintetis atau syn-gas yang aman dengan menggunakan teknologi membran.
Ketiga mahasiswa itu antara lain Ahyudia Malisa Ilham, Naimatul Khoiroh, dan Stella Jovita di bawah bimbingan Hamzah Fansuri MSi PhD dan Wahyu Prasetyo Utomo SSi MSi.
Kandungan metana sebagai penyusun utama gas alam mencapai sekitar 90 persen. Metana dihasilkan sebagai hasil samping dari industri pertambangan minyak bumi dan proses pengilangan minyak mentah dan disebut-sebut sebagai salah satu penyebab pemanasan global (global warming).
“Keberadaan metana yang melimpah ini masih sangat jarang dimanfaatkan oleh manusia, karena proses penyimpanan dan pendistribusiannya dinilai memiliki resiko ledakan yang tinggi,” terang Ahyudia Malisa Ilham, Ketua Tim.
Tim lantas memanfaatkan metode Oksidasi Parsial Metana (OPM) untuk mengubah metana menjadi syn-gas. Menurut mereka, metode ini cukup efektif karena hanya membutuhkan suhu dan tekanan rendah ketika bereaksi dibandingkan metode lainnya.
Tidak hanya itu, Ahyud mengatakan, kelebihan reaksi OPM ini juga dinilai memiliki efisiensi yang tinggi karena mengeluarkan energi panas dan mengonsumsi energi yang sedikit.
Ketika reaksi OPM berlangsung dibutuhkan teknologi yang namanya membran (selaput tipis sebagai pemisah). Melalui membran ini, gas metana dapat diubah menjadi gas yang penuh manfaat, yakni syn-gas yang berupa hidrogen dan karbonmonoksida.
“Kedua gas tersebut tidak berbahaya dan mampu dimanfaatkan menjadi bahan bakar pembangkit listrik, pelumas, dan bahan bakar cair lainnya melalui proses lebih lanjut,” kata Ahyud.
Dalam proses konversi gas metana menjadi syn-gas, tim mengaku bahwa fungsi adanya membran berguna untuk mengontrol jumlah oksigen yang bereaksi. Pengontrolan ini penting karena reaksi membutuhkan jumlah oksigen sebagian (parsial) bukan oksigen berlebih.
“Jika oksigen berlebih yang bereaksi dengan metana maka akan teroksidasi secara sempurna dan menghasilkan produk bukan syn-gas, melainkan karbondioksida dan air,” papar mahasiswi angkatan tahun 2014 ini.
Anggota tim, Naimatul Khoiroh turut menambahkan, membran yang digunakannya tersebut memiliki tipe perovskit LSCF 7328. Perovskit adalah senyawa kimia yang memiliki struktrur kristal ABO3.
A merupakan unsur kimia golongan 1 dan 2, B merupakan unsur golongan transisi, sedangkan O merupakan unsur oksigen. “Unsur-unsur tersebut bisa ditemukan tepatnya di sistem tabel periodik unsur,” jelas Naimatul.
Lanjut Naimah lagi, LSCF (Lanthanum, Strontium, Carbonoxide, and Ferrum) 7328 ini merupakan oksida perovskit yang memiliki sifat kestabilan dan keidealan struktur perovskit pada suhu tinggi.
Sehingga, penggunaan membran perovskit LSCF 7328 dinilai menunjukkan aktivitas yang baik terhadap oksidasi metana dan resisten (memiliki ketahanan) terhadap karbondioksida.
Terkait membran perovksit yang digunakan, mahasiswa asal Lamongan itu mengaku melakukan fabrikasi atau membuat membran perovskit LSCF 7328 sendiri.
Bahan-bahan yang digunakan yakni LSCF 7328 sebagai oksida perovskit, N Methyl Pyrrolidone (NMP) sebagai pelarut, Polietersulfon (PESf) sebagai polimer perekat, dan Polietilen Glikol (PEG) sebagai polimer aditif (tambahan).
Berdasarkan hasil penelitiannya, tim membeberkan bahwa nilai fluks atau jumlah tumbukan oksigen yang diperoleh sebesar 0,0000001 mol s^-1 cm^-2 (baca ^ : pangkat) .
Nilai tersebut dinyatakan cukup tinggi oleh tim daripada nilai fluks yang telah diteliti dari peneliti lain sebelumnya. Artinya, konversi metana menjadi syn-gas semakin meningkat seiring meningkatnya fluks oksigen.
Melalui inovasi ini, tim berharap penelitiannya bisa dikembangkan di Indonesia untuk memudahkan pengolahan gas metana menjadi produk yang lebih bernilai.
Bahkan bisa digunakan sebagai sumber energi alternatif pengganti penggunaan minyak bumi dan batubara.
Tim juga berharap karya inovasinya tersebut mampu bertarung di ajang Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (Pimnas) yang bakal digelar pada bulan Agustus mendatang di Yogyakarta.(tok)