Jumat, 22 November 2024

MPR RI Terima Aspirasi Usulan Presiden PKS soal Pimpinan DPR Diisi Seluruh Perwakilan Parpol di DPR

Laporan oleh Muchlis Fadjarudin
Bagikan
Bambang Soesatyo Ketua MPR RI saat konferensi pers dengan Akhmad Syaikhu Presiden PKS beserta para pengurus DPP PKS seusai mengadakan pertemuan, Senin (8/7/2024). Foto : Faiz Fadjarudin suarasurabaya.net

Bambang Soesatyo (Bamsoet) Ketua MPR RI menerima aspirasi usulan Ahmad Syaikhu Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) agar pimpinan DPR mendatang diisi oleh seluruh perwakilan partai politik yang ada di DPR RI.

Saat ini Pimpinan DPR terdiri atas satu orang ketua dan empat orang wakil ketua yang berasal dari partai politik berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak di DPR. Sementara, total partai politik yang berada di parlemen periode 2019-2024 sebanyak sembilan.

“Usulan Ahmad Syaikhu Presiden PKS agar semua partai politik yang ada di DPR bisa memiliki wakil di pimpinan DPR periode mendatang menurut pendapat pribadi saya, patut dipertimbangkan. Sehingga, dengan adanya perwakilan setiap partai politik di pimpinan DPR akan memiliki manfaat yang besar dalam memperlancar komunikasi antar partai politik di Senayan. Hal ini sudah diterapkan dan dibuktikan oleh MPR periode sekarang, dimana semua partai politik dan perwakilan DPD memiliki satu wakil di pimpinan MPR,” ujar Bamsoet saat Silaturahmi Kebangsaan Pimpinan MPR dengan Pengurus DPP PKS di kantor DPP PKS, Jakarta Selatan, Senin (8/7/2024).

Hadir antara lain Hidayat Nur Wahid Wakil Ketua MPR yang Ketua MPR RI ke-12 dan Wakil Ketua Majelis Syuro PKS, Ahmad Syaikhu Presiden PKS, Aboe Bakar Al Habsyi Sekjen, Mahfudz Abdurrohman Bendum, Tifatul Sembiring Ketua Fraksi PKS MPR, Gamal Albin Syaid Kabid Kepemudaan serta Kurniasih Mufidayati Bidang Perempuan dan Ketahanan Keluarga.

Bamsoet menjelaskan, pengurus DPP PKS juga sepakat untuk dilakukan kajian mendalam terhadap UUD NRI 1945. Konstitusi terikat oleh realitas zaman, karenanya konstitusi tidak boleh ‘anti’ terhadap perubahan. Perubahan zaman adalah sebuah keniscayaan yang tidak akan mungkin dihindarkan.

“Konstitusi yang dimiliki bangsa Indonesia harus berupa konstitusi yang hidup (living constitution) dan bekerja (working constitution). Konstitusi yang hidup adalah konstitusi yang mampu menjawab segala tantangan dan dinamika zaman. Sementara, konstitusi yang ‘bekerja’ adalah konstitusi yang benar-benar dijadikan rujukan dan dilaksanakan dalam praktik kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara,” kata Bamsoet.

Dia menerangkan, dari tahun 1999 hingga 2002, MPR telah melakukan empat kali amendemen. Namun, sejumlah kalangan menilai masih terdapat kelemahan sistematika dan substansi pada konstitusi pasca amendemen.

Persoalan mengenai kedudukan dan kewenangan lembaga negara, tidak adanya lagi garis besar haluan negara serta sistem demokrasi pemilihan langsung yang kebablasan, masih menyisakan problematika tersendiri.

Ditambah lagi, kenyataan bahwa perubahan konstitusi tidak serta-merta menumbuhkan budaya taat berkonstitusi, atau menjamin segala peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang Dasar sudah sejalan dengan konstitusi.

“Pimpinan MPR sepakat dengan Pengurus DPP PKS bahwa nantinya apabila dilakukan amandemen UUD NRI 1945, perubahan yang dilakukan adalah perubahan menuju arah perbaikan. Semisal, kembali menghadirkan pokok-pokok haluan negara sebagai bintang arah pembangunan nasional, mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara sehingga memiliki kewenangan subjektif superlatif, perbaikan sistem demokrasi pemilihan langsung yang bebas dari pratik transaksional ataupun menghadirkan kembali utusan golongan masuk ke dalam MPR Ri,” urai Bamsoet. (faz/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
31o
Kurs