Ida Fauziyah Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) akan mendorong kesetaraan peluang pekerja dari sisi gender. Sebab, menurutnya, pemberdayaan perempuan harus dilakukan untuk meningkatkan produktivitas
Ia menjelaskan bahwa kunci meraih bonus demografi melalui peningkatan produktivitas dari besarnya jumlah penduduk usia kerja, di antaranya pemberdayaan pekerja perempuan yang akan memberikan kontribusi melalui perekonomian.
Pemberdayaan perempuan dalam sektor ketenagakerjaan dirasa penting. Karena ketimpangan angkatan kerja antara pria dan wanita di Indonesia masih terjadi.
Hal tersebut tampak dari berbagai data kesenjangan antara pekerja pria dan wanita terjadi dari sisi jumlah maupun upahnya.
Dalam data Badan Pusat Statistik (BPS), ada perbedaan yang cukup terlihat antara rata-rata gaji pekerja pria dan wanita.
Rata-rata kesenjangan dari Februari 2021 sampai Februari 2024 Rp724 ribu. Selisihnya selalu naik dari tahun ke tahun hingga mencapai selisih terbanyak di Agustus 2023 Rp828 ribu.
Menurut Anda kesenjangan gaji antara laki-laki dan perempuan dikarenakan faktor kesempatan atau kemampuan perempuan yang kurang?
Dalam diskusi di program Wawasan Polling Suara Surabaya pada Kamis (27/6/2024) pagi, sebagian besar masyarakat mengatakan bahwa kesempatan menjadi faktor utama kesenjangan gaji antara laki-laki dan perempuan.
Dari data Gatekeeper Radio Suara Surabaya, dari total 17 pendengar yang berpartisipasi, 13 di antaranya (76 persen) menilai kesempatan menjadi faktor utama kesenjangan gaji antara laki-laki dan perempuan. Kemudian empat lainnya (24 persen) menilai hal ini disebabkan faktor kemampuan.
Sementara itu, dari data Instagram @suarasurabayamedia, sebanyak 86 votes (71 persen) menyebut kesempatan menjadi faktor utama kesenjangan gaji antara laki-laki dan perempuan. Sedangkan 35 lainnya (29 persen) menilai hal ini disebabkan faktor kemampuan.
Menyikapi hal tersebut Tuti Budirahayu sosiolog Universitas Airlangga (Unair) mengungkapkan, berdasarkan pelbagai penelitian, meskipun kesempatan perempuan bekerja di sektor publik sudah semakin terbuka, namun gaji perempuan masih lebih rendah dibandingkan laki-laki, meski keduanya di posisi yang sama.
“Penyebabnya ada banyak faktor yang bisa dipetakan, berdasarkan status sosial. Jika ada yang bilang setara, mungkin itu berasal dari kelompok status ekonomi sosial menegah ke atas. Mereka punya modal investasi pendidikan yang baik. Sehingga ketika mereka bersaing di dunia kerja, mendapat posisi setara dan penghasilan yang sama,” terang Tuti ketika on air di Radio Suara Surabaya, Kamis pagi.
Tapi ada juga kemungkinan perempuan dapat penghasilan lebih rendah daripada laki-laki. Misalnya permpuan lebih memilih pekerjaan yang aman dan nyaman
“Karena mereka punya tanggung jawab mengurus rumah tangga. Nah ini namanya budaya patriarki. Jadi perempuan masih merasa pekerjaan rumah tangga adalah tugasnya. Akhirnya perempuan memilih pekerjaan yang mungkin bagi laki-laki kurang menantang,” sebutnya.
Namun, lanjut Tuti, ada pula yang membuat berbeda. Misalnya jika perempuan punya suami, tak ada istilah tunjangan suami. Yang ada tunjangan.
“Pun masalah pajak. Kalau istri punya suami yang bekerja, istri tidak perlu urus pajak karena ditanggung suami. Jadi hal-hal ini saya lihat diskriminatif,” sebutnya.
Kemudian untuk di strata menengah ke bawah. Kebanyakan pekerjaan di sektor informal banyak dimasuki oleh kalangan perempuan. Sayangnya, perlindungannya justru lebih rendah, termasuk dalam hal upah
“Padahak pekerjaan di sektor informal sangat mendukung kegiatan atau bisnis di sektor formal,” terangnya.
Tuti juga menyinggung masalah glass ceiling. Di mana perempuan yang mencapai puncak manajemen lebih sedikit daripada laki-laki.
“Penyebabnya karena posisi puncak itu kan tantangannya lebih. (Sehingga) perempuan merasa tidak aman. Selain itu bisa juga karena diskriminasi, sehingga perusahaan lebih memilih laki laki,” bilangnya.
Lalu, Tuti melanjutkan, bahwa jenis pekerjaan tertentu untuk unsur manajemen ke bawah, masih mempertimbangkan bahwa perempuan akan lebih banyak cutinya.
“Sebenarnya perempuan itu mendapatkan kesempatan yang sama. Tapi karena ada glass ceiling, akhirnya kesempatan untuk mencapai posisi puncak lebih anyak faktor patriarki dan diskriminasi,” terangnya.
Dia menegaskan bahwa perempuan membutuhkan ketangguhan dan kecerdasan. Tuti juga meyakini bahwa perempuan mampu bersaing dengan laki-laki ya. (saf/ipg)