Pusat Data Nasional (PDN) sejak, Kamis (20/6/2024) lalu, mengalami gangguan yang berimbas pada sejumlah layanan publik, di antaranya keimigrasian. Akibat gangguan itu, antrean pemeriksaan imigrasi di sejumlah bandara mengular dan dikeluhkan warganet di media sosial X.
Selain Imigrasi, sejumlah lembaga lain milik Pemerintah juga dilaporkan terganggu. SIM SPAM atau Sistem Informasi Direktorat Air Minum hingga Sistem Informasi Infrastruktur Sanitasi atau SI INSAN Kementerian PUPR serta serta Sistem Informasi Pengelolaan Keuangan Daerah Kemendagri juga terganggu.
Laman-laman itu tidak bisa diakses sejak Kamis malam, dan sampai saat ini belum bisa dipastikan penanganan seluruhnya.
Tidak hanya Kemenkominfo, lembaga lain yang bertanggung jawab terhadap keamanan siber di Indonesia seperti Badan Siber dan Sandi Negara atau BSSN hingga Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, hingga saat ini masih belum mengungkapkan penyebab pasti kelumpuhan PDN.
Terkait hal ini, Slamet Dosen Sistem Informasi Universitas Dinamika (Undika) Surabaya mengatakan PDN memegang peranan vital dalam menyimpan data-data penting seperti perpajakan dan imigrasi yang berkaitan dengan kepentingan nasional.
Selain itu, menurutnya integritas dan kerahasiaan data yang dikelola oleh PDN adalah kunci dalam menjaga stabilitas dan keamanan nasional. Untuk itu, Slamet menyatakan bahwa masih diperlukan investigasi mendalam untuk mengetahui penyebab pasti gangguan tersebut.
Termasuk, potensi adanya serangan siber berupa ransomware atau jenis malware yang menyerang sistem komputer dengan mengenkripsi data dan menuntut tebusan finansial dari korban.
“Serangan ransomware cukup mungkin terjadi, mengingat sifat serangan yang mengunci data dan meminta tebusan. Karena itu penting untuk memeriksa log file dan server untuk memastikan dugaan tersebut. Analisis forensik digital diperlukan untuk mengetahui jalur serangan dan pelaku di balik insiden ini,” jelasnya waktu mengudara di program Wawasan Suara Surabaya, Senin (24/6/2024).
Karenanya, Slamet menekankan pentingnya peran pemerintah dan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) dalam menangani insiden ini. Slamet juga menyarankan agar ada simulasi rutin dan latihan penanganan insiden untuk meningkatkan kesiapsiagaan tim keamanan siber nasional.
“Harus ada mekanisme yang jelas sebelum, saat, dan setelah insiden terjadi. Deteksi ancaman dini, respons yang tepat, dan pemulihan pasca-insiden adalah hal-hal yang krusial,” ucapnya.
Menurut dosen Informasi Undika itu, investasi dalam teknologi harus diiringi dengan infrastruktur yang memadai dan pengembangan sumber daya manusia yang kompeten. Pengembangan kapasitas SDM harus menjadi prioritas utama untuk memastikan tim siap menghadapi ancaman siber yang terus berkembang.
“Investasi sebesar Rp259 miliar mungkin terasa kecil untuk skala nasional. Infrastruktur hardware dan software yang kuat, serta SDM yang mumpuni, sangat diperlukan untuk menjaga keamanan data,” ujar Slamet.
Dia juga menyarankan optimalisasi penggunaan kecerdasan buatan (Artificial intelligence/AI) untuk membantu menjaga data dari peretas dan sebagainya. AI dinilai telah lama digunakan untuk deteksi dan respon terhadap ancaman siber, karena dapat mengklasifikasikan serangan serta mempercepat proses mitigasi ancaman.
Selain itu, AI dapat memprediksi potensi ancaman berdasarkan pola serangan sebelumnya, sehingga memungkinkan tindakan preventif yang lebih efektif. “Integrasi AI dalam sistem keamanan siber memungkinkan kita untuk selalu selangkah lebih maju dari para pelaku kejahatan siber,” pungkasnya. (bil/faz)