Sabtu, 23 November 2024

Semangat Kemanusiaan di Balik Investigasi Perbudakan Kapal Ikan di Thailand

Laporan oleh Denza Perdana
Bagikan
Shannon Service Jurnalis Lepas asal Amerika. Foto: Denza suarasurabaya.net

Shannon Service Jurnalis Lepas asal Amerika menghabiskan sekitar 5 ribu dolar AS atau sekitar Rp67 juta untuk proyek investigasi perbudakan laut di kapal-kapal ikan di Thailand selama kurang lebih enam tahun.

Hasil investigasi yang cukup panjang itu kemudian dia filmkan dalam sebuah film dokumenter berjudul “Ghost Fleet” yang dia produseri sendiri dengan biaya kurang lebih 1 juta dolar AS.

Kepada jurnalis di Surabaya, Shannon berbagi kisah bagaimana dia memulai proyek itu, menemukan narasumber kunci, sampai menelusuri perbudakan sistematis di kapal-kapal ikan Thailand.

Dia memulai investigasi ini dari rumor banyaknya pria Myanmar yang hilang dan bekerja di kapal-kapal ikan di Thailand. Penelusuran panjang dengan informasi serba terbatas pun dia mulai.

“Tidak ada berita apapun,” kata Shannon di Workshop Jurnalisme Investigasi untuk Perdagangan Manusia yang digelar Konjen AS di Hotel Ibis Budget HR Muhammad, Surabaya, Rabu (18/7/2018).

Hanya ada satu artikel yang diterbitkan organisasi imigran Internasional Organizagion of Migration (IOM) yang akhirnya membawa Shannon bertemu narasumber utamanya.

Setelah sekian banyak pihak dia temui, Shannon yang mengerjakan proyek ini bersama Becky Palmstorm, jurnalis lepas rekannya di Myanmar, bertemu dengan Vannak Prum.

Vannak adalah warga Kamboja yang dijual ke kapal ikan di Thailand saat mencari kerja tambahan di Kota Malai, Kamboja yang berbatasan dengan Thailand untuk biaya rumah sakit karena istrinya sedang hamil.

Shannon dan Becky menelusuri setiap lokasi yang diceritakan Vannak setelah lolos dari kapal. Perbudakan membuatnya tiga tahun tidak bertemu daratan dan harus bekerja siang malam tanpa dibayar.

Shannon dan Becky mengisahkan bagaimana Vannak meloloskan diri dengan menceburkan diri dan terdampar di Serawak, Malaysia, ri dalam reportase mereka.

Tapi belum selesai di sana, setelah lolos dari perbudakan di kapal ikan dia dijual ke perkebunan sawit di Serawak.

Shannon dan Becky harus bolak-balik dari Myanmar ke Kamboja, kemudian ke Thailand, dan sebaliknya, selama enam bulan menelusuri alur perdagangan manusia yang dialami Vannak.

Mereka menyusun hasil peliputan yang sangat panjang itu ke dalam sebuah laporan audio yang disiarkan oleh National Public Radio (NPR/Radio Amerika) dalam durasi selama 15 menit saja.

Tapi dari sinilah fakta tentang perbudakan terstruktur di Thailand diketahui oleh dunia. Media-media besar seperti The New York Times, bahkan Majalah Tempo pun mengutip temuan Shannon.

Salah satunya tentang temuan makam para ABK Myanmar di Kepulauan Aru, di kawasan yang dikenal sebagai Benjina. Reportase Shannon memuat tentang makam itu sebagaimana disebutkan oleh Vannak.

“Kemudian saya melanjutkan investigasi ini dengan 50 persen biaya ditanggung oleh NPR,” ujarnya.

Sisanya, Shannon harus mencari dana dari berbagai investor. Salah satunya dari Nation Institute sebuah lembaga non-profit Amerika yang didedikasikan bagi para jurnalis lepas.

Shannon termotivasi untuk melanjutkan proyek investigasi ini hingga akhirnya dia angkat dalam sebuah film dokumenter karena Vannak Prum.

Ada sebuah momen yang menjadi pelecut sehingga dia begitu terdorong untuk melanjutkan proyek itu. Yakni ketika Vannak Prum berupaya menemui orang yang menjualnya ke kapal ikan.

“Suatu kali Vannak menelepon saya dan menanyakan keberadaan saya. Saya saat itu di Malai sedang mengikuti kisahnya, dan dia meminta saya menunggunya,” katanya.

Vannak menempuh perjalanan selama 20 jam naik bus untuk menemui Shannon dan Becky. Ketika akhirnya mereka bertemu Vannak mengatakan, dia tahu di mana penjualnya tinggal dan ingin menemuinya.

Shannon menyadari upaya Vannak menemui pedagang manusia (trafficker) yang menjualnya sama saja dengan membahayakan diri, maka dia berupaya mencegahnya.

“Tapi dia bilang, dia harus menemui penjualnya, ada sesuatu yang ingin dia lakukan sejak lama. Maka kami pun pergi ke tempat tinggal si penjual, tapi situasi di Malai sudah banyak berubah,” kata Shannon.

Vannak pada akhirnya tidak berhasil menemui orang itu. Shannon dan Becky pun lega. Mereka tidak pernah tahu, situasi apa yang akan mereka hadapi ketika mereka bertemu si trafficker.

Lalu pada saat mereka sudah di bandara untuk menunggu penerbangan berikutnya yang mengantar mereka pulang, Shannon dan Becky tergelitik bertanya apa yang akan dilakukan Vannak terhadap trafficker-nya?

“Vannak bilang, dia sudah lama ingin menemui orang itu untuk memaafkannya,” ujar Shannon yang mulai berurai air mata. “Itu yang memotivasi saya melanjutkan Investigasi ini.”

Proyek investigasi itu sudah rampung dan Shannon memutuskan untuk memproduseri film dokumenter tentang kisah Vannak Prum ini dengan dana yang lebih fantastis. Senilai 1 juta dolar AS.

Film ini, kata Shannon, akan diputar pada September mendatang. Dia ingin film ini diputar, terutama di negara-negara yang berkaitan langsung dengan kisah tersebut. Seperti Myanmar, Kamboja, Thailand, Indonesia, dan Amerika Serikat.

Menurut Shannon, keterkaitan Amerika Serikat dengan kisah ini sangat erat. Dia ingin masyarakat Amerika tahu dari mana ikan-ikan yang mereka makan berasal. Karena sebagian besar ikan di Amerika memang berasal dari kapal-kapal ikan di Thailand.(den/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
28o
Kurs