Industri kelapa sawit memiliki dampak yang sangat besar dalam perekonomian Indonesia. Untuk itu, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) akan terus berupaya meningkatkan produksi minyak sawit di Indonesia.
Itu dilakukan karena melihat pada kuartal pertama 2018, terjadi penurunan ekspor minyak sawit. Termasuk pada hasil produksi biodiesel dan oleochemical yang turun sekitar 2 persen, apabila dibandingkan dengan periode yang sama di tahun sebelumnya.
Pada tahun 2017, ekspor minyak kelapa sawit mencapai 8,20 juta ton. Sedangkan di tahun 2018, hanya sekitar 7,84 juta ton.
Lakshmi Sidharta Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (GAPKI) mengatakan, penurunan itu terjadi akibat penerapan perdagangan dan beberapa kebijakan yang diterapkan oleh beberapa negara. Serta campur tangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) asing terkait produksi minyak sawit tersebut.
Meski sempat menurun, lanjutnya, dirinya optimis bahwa pertumbuhan produksi dan ekspor minyak sawit akan naik. Dengan target, sekitar 5 persen.
“Karakter tanaman sawit kan ada masa tracking-nya. Saat ini sedang bagus-bagusnya atau bisa dibilang panen raya. Kebetulan memang kondisi di pasar, tidak semata-mata terkait dengan supply dan demand saja. Tapi juga banyak pengaruh. Seperti isu negatif itu juga berdampak, terus saat ini produksi sedang banyak. Jadi kalau supply semakin banyak maka harga akan semakin di bawah,” kata Laksmi, usai mengisi Workshop Jurnalistik Mambangun Awareness dan Persepsi Positif Industri Kelapa Sawit di Kalangan Netizen, Kamis (19/7/2018).
Banyaknya persyaratan-persyaratan yang diajukan oleh negara-negara lain, diakuinya semakin mempersulit pihaknya untuk melanjutkan proses produksi. Ditambah, keterbatasan tangki yang tidak bisa menampung semua stok hasil olahan minyak sawit.
“Sebenarnya bukan tidak mau menjual. Tetapi karena persyaratan nambah, jadi harganya jelek, kita kan nggak mau harganya jadi rugi. Jadi, mau nggak mau kita simpan. Nah, di sisi lain, kita juga punya keterbatasan tangki penyimpanan. Bukan kita tidak mau beli ke petani, tapi tangkinya tidak cukup. Sedangkan kalau ditumpuk terlalu lama, kualitasnya juga akan jelek,” tuturnya.
Solusinya, lanjut dia, pihaknya akan melakukan pendekatan ke beberapa perusahaan untuk bisa menyerap kelapa sawit dalam bentuk biodesel. Salah satunya melakukan pendekatan ke pihak Pertamina.
“Kita akan coba terus untuk membicarakan ini ke Pertamina dan bentuk kelapa sawit diubah menjadi biodesel melalui pemanasan, dan ini akan menaikkan harga jual,” tuturnya.
Hingga saat ini, kata dia, India masih menjadi negara tujuan ekspor Crude Palm Oil (CPO) terbesar setelah China, yaitu sekitar 15 persen. Selanjutnya, pihaknya menargetkan negara-negara baru tujuan ekspor, diantaranya Asia Selatan dan Afrika. (ang)