Korlantas Polri berencana mengganti nomor Surat Izin Mengemudi (SIM) dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK) mulai tahun 2025, dengan tujuan menertibkan data pribadi warga Indonesia.
Brigjen Pol Yusri Yunus Direktur Registrasi dan Identifikasi (Dirregident) Korlantas Polri pada, Kamis (6/6/2024) lalu, mengatakan penggunaan NIK itu diharapkan dapat mencegah duplikasi pembuatan SIM sehingga tercipta satu data terintegrasi yang lebih akurat.
Karena, sistem yang ada saat ini menurutnya memungkinkan seseorang memiliki beberapa SIM di wilayah yang berbeda. Dengan sistem baru yang direncakan pada 2025 itu, memastikan petugas akan tahu nama seseorang sudah memiliki SIM di satu kota, sehingga tidak bisa lagi membuat SIM di wilayah lainnya.
Kalau menurut Trubus Rahadiansyah pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti Jakarta, kebijakan ini sebetulnya bisa menjadi bentuk dari efisiensi pelayanan publik yang tercanang dalam upaya pemerintah menerapkan “Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE).”
Karenanya, kebijakan kepolisian mengganti nomor SIM dengan NIK itu menurutnya menjadi terobosan yang patut didukung, mengingat selama ini sangat banyak duplikasi terhadap SIM.
“Kalau kita mencotoh di Thailand itu sesuai KTP, jadi kalau orang-orang melanggar gitu entah lalu lintas seperti kena ETLE, ya nanti langsung ketahuan wajahnya, langsung ke NIK nya, nomor KTP, jadi diketahui semua. Termasuk meminimalkan perilaku-perilaku kejahatan, itu yang penting,” ujarnya waktu mengudara di program Wawasan Suara Surabaya, Senin (10/6/2024).
Meski demikian, lanjutnya, tetap ada hal yang harus disoroti, yakni moralitas dari masyarakat maupun personel kepolisian sendiri dalam hal perilaku koruptif. Karena, kata Trubus, terjadinya perilaku tersebut selalu diawali dari kedua belah pihak yang sepakat untuk melakukan maladministrasi.
“Seperti ada (pemilik nomor SIM ganda) kemudian ujung-ujungnya masyarakat sendiri yang megang kesalahan ini minta keringanan (ke petugas). Itu kan menjadi perilaku yang umum di budaya masyarakat kita, jadi kita gak bisa menyalahkan secara institutional ini kan sangat personal,” tambahnya.
“Di satu sisi juga yang penting adalah edukasi ke masyarakat, karena bagaimanapun juga NIK itu sangat menentukan sejauh mana SIM yang anda pegang itu bermanfaat, berdaya guna, kemudian mempunyai legalitas anda sebagai seorang pengendara. Jadi menyangkut kedisiplinan dia saat berkendara. Kan akhirnya relatif hati-hati tidak ugal-ugalan,” sambungnya.
Sementara dari segi teknologi, kata Trubus, pastinya butuh anggaran besar dan implementasinya secara berharap, tidak serentak langsung di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, dia menganjurkan lebih baik sistem tersebut diterapkan terlebih dulu di kota-kota besar.
Apalagi, Trubus menyebut kalau perlindungan data NIK belakangan juga sering jadi sorotan. Harus ada pembenahan juga dari sisi instansi terkait, dalam hal ini Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil.
Dia kembali mencontohkan pembekuan NIK di Jakarta saja beberapa waktu lalu justru menyulitkan masyarakat yang ingin mengurus perizinan maupun melakukan pengurusan bank dan sebagainya.
“Jadi butuh persiapan yang panjang, kalau sekarang diterapkan ujuk-ujuk nanti mesti resah masyarakat kita, yang terjadi justru timbul pro dan kontra,” ujarnya. (bil/ham)