Sugeng Teguh Santoso Ketua Indonesian Police Watch (IPW) menyorot Rancangan Undang-undang (RUU) Perubahan Ketiga dari UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia (Polri).
Dia mengingatkan, Polri adalah instrumen negara untuk menjaga ketertiban sipil yang harus menghormati Hal Asasi Manusia (HAM).
“Termasuk di dalamnya adalah hak untuk berkomunikasi, hak untuk tidak diintervensi privasi, kecuali atas satu perintah hukum yang dipertanggungjawabkan. Misalnya terorisme,” ujar Sugeng saat mengudara dalam program Wawasan Radio Suara Surabaya.
Kemudian, Sugeng juga menyorot sejumlah pasal dalam RUU tersebut. Misalnya Pasal 16 ayat (1) yang memberi kewenangan Polri untuk melakukan pengamanan, pembinaan dan pengawasan di ruang siber.
Menurut Sugeng, hak untuk komunikasi dan hak untuk berekspresi yang tidak melanggar hukum itu adalah prinsip dasar yang harus dikedepankan.
“Untuk memblokir atau membatasi, itu harus diuji oleh lembaga lain, bukan polisi saja. Jadi, Undang-undang ini harus dikoneksikan misalnya dengan perintah pengadilan. Misalnya orang yang diduga melakukan tindak pidana,” jabarnya.
Kalau polisi diberi kewenangan tanpa satu pengawasan, lanjut Sugeng, bisa menjadi pelanggaran HAM.
“Oleh karena itu mekanisme pembatasan ini, kalau ada, harus diatur ketat, tidak bisa sepihak. Setidaknya ada dua pihak yang menguji, yaitu pengadilan dan komite independen,” tegasnya.
Lebih lanjut, Sugeng juga mengkritisi kewenangan penyadapan oleh polisi yang tertuang dalam RUU Polri Pasal 14 ayat (1) Huruf O draf RUU Polri.
Kewenangan melakukan penyadapan dikhawatirkan menimbulkan disparitas dengan kewenangan serupa yang dimiliki lembaga penegak hukum lainnya.
“Penyadapan juga harus ada filter dari lembaga independen karena rentan penyalahgunaan kewenangan untuk kekuasaan. Ingat kasus Watergate? Jadi harus ada komite independen yang menguji tindakan-tindakan aparat keamanan yang membatasi HAM,” imbuhnya.
Kemudian, Sugeng mendorong peningkatan kkoordinasi, kontrol, sekaligus pengawasan. Sehingga, tugas yang diberikan kepada aparat kepolisian tidak disalahgunakan.
“Check and balance, keseimbangan dan pengawasan. Supaya tidak terjadi kesewenang-wenangan,” jelasnya.
Poin lain yang menjadi sorotan adalah usia pensiun. Menambah usia pensiun menjadi salah satu aturan yang akan diubah lewat RUU Polri menjadi 62 tahun bagi anggota Polri, dan 65 tahun bagi pejabat fungsional Polri.
Sugeng berpendapat, memperpanjang usia pensiun dikhawatirkan berdampak buruk terhadap proses regenerasi di internal Polri.
“Usia TNI dan Polri itu tidak boleh lebih dari 60 tahun. Karena kerja polisi itu butuh stamina dan intelegensi yang prima. Perhitungan ilmiah itu sudah menyatakan, 60 tahun itu batas manusia melakukan pekerjaan, secara rata-rata. Selain itu, kalau 65, bisa menghambat regenerasi kepemimpinan,” pungkasnya.(saf/rid)