Kisah Tatik, ibu rumah tangga asal Bojonegoro, Jawa Timur jungkir balik menjadi perajin batik tuntas menguliahkan dua anak sampai sukses menjadi perawat dan manajemen perusahaan di tengah suami sakit.
Tatik awalnya hanya ibu rumah tangga mendampingi suaminya yang berprofesi penguji TK 1 Perhutani.
Namun mulai 2001, suaminya sakit meski tetap sanggup bekerja sampai purna 2013. Sejak pensiun, sakit komplikasi yang diderita suaminya makin parah mulai bronkitis hingga penyumbatan saraf otak belakang.
Untung saja, Tatik sudah punya penghasilan pengganti menjadi perajin batik. Profesi yang ia rintis dari setahun sebelumnya, 2012, bermodal keliling cari pelatihan gratis yang diadakan dinas-dinas Pemerintah Kabupaten Bojonegoro.
Ia nekat menggunakan tabungannya Rp2 juta sebagai modal menerima pesanan membatik kain. Perlahan, ilmunya ditularkan ke empat ibu-ibu sekitar rumah untuk menjadi kelompok.
“Desa saya percaya untuk membentuk kelompok dengan ibu-ibu,” katanya ditemui suarasurabaya.net usai menjadi pembicara Local Hero yang diadakan Regional Indonesia Timur Subholding Upstream Pertamina, di Bandung, Senin (3/6/2024).
Keputusannya terjun ke dunia perajin batik rupanya tepat, ia dan kelompoknya banjir orderan. Seminggu saja, bisa Rp2juta yang ia terima dari pesanan klien.
“Karena ramai (pesanan) batik, (waktu itu wajib) setiap kantor (di Bojonegoro) harus seminggu dua kali pakai (batik). Jadi setiap hari pasti ada pesanan,” katanya lagi.
Pendapatan itu membuatnya berhasil meluluskan kuliah kedua anaknya 2020 lalu di tengah sang suami tetap sakit dan sudah purna.
Tapi ternyata itu jadi tahun terakhir usahanya mulus. Pandemi datang 2021, suaminya meninggal, usahanya pun sepi pesanan. Jangankan untung, modal saja tidak kembali.
“Saya bagikan kain yang ada itu ke anggota kelompok satu-satu karena gak bisa beri honor, terus saldo (kelompok) kami nol,” tuturnya.
Meski pintu rezeki sepertinya selalu terbuka untuknya. Tatik yang punya gelar sarjana sejak 1997, berkesempatan membantu mengajar TK sejak setahun sebelumnya pada 2020.
Tak lama setelah badai mengambil suami dan penghasilan satu-satunya milik Tatik, di tahun yang sama, 2021, datang bantuan dari Regional Indonesia Timur Subholding Upstream Pertamina.
“Tidak dapat bantuan uang, tapi alat-alat dan bahan-bahan, juga pelatihan,” katanya.
Modal berharga itu yang membuat Tatik bangkit lagi membentuk kelompok baru, ia namai “Kembang Sambiloto”.
Ia kembali berkarya bersama kelompoknya, sampai sekarang tercipta sembilan motif dengan hak cipta.
“(Motif batik beberapa di antaranya) wonocolo, kayangan api, bendungan gerak, tengul, kembang sambiloto, pompa angguk, dan negeri di atas angin,” katanya lagi.
Yang awalnya hanya beranggotakan lima orang, sekarang berkembang jadi 13 anggota.
Jumlah omzet yang diperoleh memang belum sebanyak dulu, saat instansi wajib pakai seragam batik.
“Sekarang kadang dapat omzet Rp10 juta, Rp20 juta sebulan. Produksinya gak pasti kemarin 100 lembar kain, kadang 50, kadang hanya 25 (kain),” imbuhnya lagi.
Baru mengandalkan pesanan dari kantor, sekolah, dan permintaan souvenir. E-katalog sedang dipersiapkan untuk mempercepat penjualan lewat online.
“Harga batik untuk anak sekolah Rp85-90 ribu, kalau biasa Rp135-160 ribu,” tuturnya.
Tapi ia ingin semangatnya terus ada, termasuk menyemangati para anggotanya di Desa Sambiroto, Kecamatan Kapas, Kabupaten Bojonegoro.
“Kadang pas gak laku, teman-teman mau mundur, tapi saya semangati. (Saya bilang) Namanya orang kerja naik turun, kita harus semangat, meski tidak ada masukan, ada usaha lain,” ucapnya.
Ia berterima kasih pada Regional Indonesia Timur Subholding Upstream Pertamina, yang terus membantunya.
Tatik juga berharap, semakin banyak ibu-ibu seusianya yang juga berkesempatan didukung Pertamina untuk kreatif dan mendapat penghasilan.
“Kemarin saya juga mengajukan beberapa alat yang belum ada, tapi kata Pertamina, siap aja nanti dibelikan,” imbuhnya.
Ia berharap kisahnya juga bisa menginspirasi semua ibu-ibu di Indonesia.
Perjuangannya tidak sia-sia. Kini kedua anaknya setelah lulus kuliah sudah berhasil bekerja. Satu bekerja sebagai perawat di rumah sakit Lamongan, dan satunya di bidang manajemen di sebuah perusahaan nasional di Surabaya. (lta/ipg)