Jumat, 22 November 2024

Guru Besar UI Resahkan Korupsi Politik di Elite dan Ruang Transaksional di Rakyat

Laporan oleh Muchlis Fadjarudin
Bagikan
Prof. Sulistyowati Irianto (kiri) Guru Besar Antropologi Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) saat tanya jawab seusai memberikan kuliah umum bertajuk Dilema Intelektual di Masa Gelap Demokrasi: Tawaran Jalan Kebudayaan pada acara Koentjaraningrat Memorial Lecture XXI/2024", yang diselenggarakan Forum Kajian Antropologi Indonesia (FKAI), Senin (3/6/2024). Foto : Faiz Fadjarudin suarasurabaya.net

Saat ini Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Setidaknya dimulai ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dilemahkan melalui revisi Undang-Undang, dan “uji kebangsaan” yang menyingkirkan banyak andalan staf KPK.

Kemudian terdapat berbagai peristiwa politik hukum yang melemahkan demokrasi sampai pada puncaknya dua tahun ini. Di antaranya adalah keluarnya putusan Mahkamah Agung no.23/2024, menyusul putusan Mahkamah Konstitusi no.90/2023 sebelumnya.

Kedua putusan itu bernuansa nepotisme, penuh kejanggalan, dan putusan MK no 90 bahkan dinyatakan cacat secara prosedural maupun substansi dalam dissenting opinion hakim MK sendiri, dan melanggar etika oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.

Putusan pengadilan semacam ini meruntuhkan wibawa lembaga penegakan hukum tertinggi di republik ini dan menghapus berbagai upaya reformasi.

Demikian disampaikan Prof. Sulistyowati Irianto Guru Besar Antropologi Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) saat memberikan kuliah umum bertajuk Dilema Intelektual di Masa Gelap Demokrasi: Tawaran Jalan Kebudayaan pada acara Koentjaraningrat Memorial Lecture XXI/2024″, yang diselenggarakan Forum Kajian Antropologi Indonesia (FKAI), Senin (3/6/2024).

Dia menilai, hal itulah yang menjadi fenomena kemunduran demokrasi pada pemerintahan saat ini.

Sulis mengatakan upaya pemerintah untuk melemahkan demokrasi terlihat dari adanya pengerahan. Yakni dimulai dari politisasi yudisial dan penyebaran kesadaran palsu kepada publik bahwa semuanya wajar tanpa pelanggaran hukum.

Menurutnya, hal itu menunjukkan sebuah ‘keruntuhan demokrasi sedang terjadi perlahan tetapi pasti dan membahayakan kohesi masyarakat’.

“Penyelenggara negara yang seharusnya menjadi wasit nampak terlibat, bahkan (seakan sebagai) kontestan. Asas pemilu jujur, adil, bebas, langsung, rahasia seperti digariskan Konstitusi, Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 22 E, telah dilanggar,” tegas Sulis di Auditorium Mochtar Riady FISIP UI, Depok, Jawa Barat.

Sulis juga menilai Pemilu 2024 terlihat penuh dengan korupsi politik dan menjadi ruang transaksional di tingkat rakyat. Inilah yang menyebabkan politik uang dalam pemilu semakin mahal dari waktu ke waktu. Pemilu juga dilekati transaksi jabatan penting pemerintahan.

“Tidak sedikit politikus yang dengan mudah pindah dari satu partai ke partai politik lain demi harapan, peluang untuk menjadikannya pejabat. Indikasi kecurangan mengemuka dalam sidang sengketa perselisihan pemilu di Mahkamah Konstitusi,” jelas dia.

Sulis menyatakan itu dengan menyoroti adanya tiga hakim konstitusi yang memiliki pandangan berbeda atau dissenting opinion terhadap kondisi pelaksanaan Pemilu 2024. Lalu ada lebih dari 50 amicus curiae yang disampaikan oleh para akademisi, seniman, kelompok buruh, dan berbagai elemen lain dalam masyarakat.

Kemudian, sorotan dari Komite Hak Asasi Manusia Persatuan Bangsa-Bangsa, hal mana belum pernah terjadi dalam pemilu sebelumnya.

Sulis juga menilai hukum sudah menjadi alat rekayasa politik untuk kepentingan kekuasaan. Dia menduga itu terlihat dari berbagai instrumen hukum yang akan disegerakan pengesahannya dalam masa lame duck pemerintahan.

Di antaranya adalah hukum terkait masalah Penyiaran, Kepolisian Negara, Tentara Nasional Indonesia, Mahkamah Konstitusi, dan Kementerian Negara. Berbagai pasal dalam instrumen hukum itu menukik pada esensi demokrasi dan hak asasi manusia.

“Misalnya akan hilangnya kebebasan berekspresi dan kebebasan pers dalam menyajikan temuan investigatif dalam RUU Penyiaran. Atau perluasan kewenangan kepolisian dalam RUU Polri, padahal polisi adalah alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat dan menegakkan hukum,” jelas Sulis

Tak hanya itu, Sulis juga mengkritisi berbagai kebijakan eksekutif di tingkat nasional yang dirumuskan diam-diam, selanjutnya ramai dibicarakan di ruang publik, dan mendapatkan reaksi keras, hingga lalu dibatalkan. Misalnya adalah kebijakan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan soal Uang Kuliah Tunggal (UKT).

“Lalu kebijakan Tabungan Perumahan Rakyat (TAPERA) yang proses pembuatannya tampak tidak didasarkan regulatory impact analysis yang memadai,” tandas Sulis.

Dalam acara kuliah umum ini, hadir sejumlah guru besar, aktivis, politisi, hingga akademisi. Mereka di antaranya Hasto Kristiyanto Sekjen PDI Perjuangan, Rocky Gerung ahli filsafat, Bambang Widjojanto (BW) eks pimpinan KPK , dan Novel Baswedan eks pegawai KPK.

Hadir juga Usman Hamid dan Sumarsih aktivis HAM serta Faisal Basri ekonom.(faz)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
36o
Kurs