Jumat, 22 November 2024

Pakar Hukum Tata Negara: Kebijakan Satu Rumah Maksimal 3 KK Sudah Sesuai Standar Rumah Sehat

Laporan oleh Billy Patoppoi
Bagikan
Ilustrasi - Kartu Keluarga dan KTP

Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya pada akhir Mei 2024 lalu telah menerapkan kebijakan satu alamat maksimal diisi tiga KK. Selebihnya, jika ingin melakukan pecah KK lagi, pemohon diberikan syarat harus mempunyai alamat baru.

Peraturan tersebut seiring dikeluarkannya surat nomor 400.12 /10518/436.7.11/2024 terkait Layanan Pecah Kartu Keluarga (KK) oleh Sekretaris Daerah Kota Surabaya.

Surat itu juga menjelaskan, peraturan yang berlaku per 31 Mei itu dalam rangka tertib administrasi kependudukan dan mempertimbangkan penghidupan yang layak bagi warga Kota Surabaya sebagaimana diamanatkan pada Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945

Terkait peraturan ini, dari kaca mata hukum, Dr. Rusdianto Sesung Tenaga Ahli Hukum Universitas Narotama Surabaya mengatakan Pemkot tentu sudah melakukan tolak ukur terkait peraturan tersebut.

Dari sisi kelayakan rumah sehat misalnya, menurut Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil) No 403 Tahun 2002, standar luas hunian untuk satu orang adalah sembilan meter persegi, untuk tiga orang 26 meter persegi, dan empat orang 36 meter persegi.

“Jadi misalnya nih, saya punya rumah. Rumah saya itu cuma ukurannya 30 meter persegi. Lalu kemudian, saya di situ ada 7 orang. Kemudian ingin pecah kakak jadi 3. Ini layak apa nggak? Nah, itu kira-kira ya. Jadi penilaiannya disitu, disebut legitimate expectation. Jadi kalau mengajukan pisah KK di alamat yang sama, tapi kalau dari standar rumah sehat tidak memenuhi, maka tidak layak untuk dikabulkan,” jelasnya waktu mengisi program Wawasan Suara Surabaya, Senin (3/6/2024).

Sementara soal dasar hukum penerapan aturan tersebut, Pakar Hukum Tata Negara itu memaparkan dalam hukum administrasi negara terdapat istilah wetmatigheid van het bestuur. Artinya setiap tindakan pemerintahan itu harus memiliki dasar hukumnya dalam suatu peraturan perundang-undangan.

Dia mencontohkan di dalam UU No. 23 Tahun 2006, Peraturan Pemerintah (PP) No. 40 Tahun 2019, serta Permendagri 109 Tahun 2019 yang mengatur tentang Administrasi Kependudukan, sebenarnya tidak ada ketentuan yang melarang seorang boleh pisah atau memilik KK yang sama dalam satu alamat/tempat tinggal. Tapi meski tidak dilarang, menurutnya belum tentu hal tersebut boleh dilakukan.

Rusdianto kemudian menjelaskan, dalam hukum administrasi terdapat Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB). Artinya, ketika pejabat atau badan administrasi akan mengambil suatu tindakan atau memutuskan suatu keputusan kebijakan, maka harus berpedoman pada asas umum tersebut, khususnya terkait dampak dan efektivitas yang ditimbulkan.

“Kira-kira menurut pejabat administrasi ini memberikan kemanfaatan umum atau tidak, ini memenuhi pengharapan yang layak bagi warga atau tidak, baik atau tidak bagi perkembangan kota dan administrasi. Dalam kerangka itulah, maka ketika akan diambil suatu kebijakan yang tadinya tidak dilarang undang-undang, dan karena dinilai dari AUPB bahwa ini seharusnya dilarang, maka pejabat pemerintahan berwenang untuk melakukan pembatasan,” ujarnya

Terkait syarat sah atau tidaknya kebijakan yang dibuat pemerintah, Rusdianto menjelaskan ada tiga unsur yang harus dipenuhi, yakni wewenang, prosedur dan substansi. Dalam kebijakan ini, wewenang Pemkot Surabaya untuk menetapkan pembatasan KK ada di Undang-Undang No 23 Tahun 2006, pasal 7.

“Kemudian Undang-Undang No 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah juga memberikan kewenangan, jadi bagaimana ketika kemudian sudah ada kewenangan, maka tinggal bagaimana pemerintah daerah masing-masing ini mengatur prosedurnya,” ujarnya. (bil/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
33o
Kurs