Jumat, 22 November 2024

Polling Suara Surabaya: Masyarakat Menilai Tapera Tidak Penting

Laporan oleh Muhammad Syafaruddin
Bagikan
Hasil Wawasan Polling Suara Surabaya Media terkait Tapera, apakah penting atau tidak? Foto: Bram suarasurabaya.net

Masyarakat Indonesia ramai membicarakan kebijakan baru pemerintahan Joko Widodo Presiden yang mewajibkan gaji pekerja dipotong tiga persen untuk Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera.

Aturan ini tersebut ada dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024, tentang Penyelenggaraan Tapera.

Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera ialah penyimpanan dana yang dilakukan peserta secara periodik dalam jangka waktu tertentu yang hanya bisa dimanfaatkan untuk pembiayaan perumahan, dan-atau dikembalikan berikut hasil penumpukannya setelah kepesertaan berakhir. Hal ini tertuang dalam Pasal 1 ayat (1) PP Nomor 21 Tahun 2024.

Sementara itu, peserta Tapera adalah setiap warga negara Indonesia (WNI) dan warga negara asing (WNA) pemegang visa, dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia paling singkat 6 bulan, yang telah membayar Simpanan Tapera, yakni sejumlah uang yang dibayar secara periodik oleh Peserta dan atau Pemberi Kerja.

Mengutip laman Indonesia Baik, besaran simpanan peserta Tapera ditetapkan sebesar 3 persen dari gaji atau upah untuk peserta pekerja dan penghasilan untuk peserta pekerja mandiri.

Bagaimana menurut Anda, penting atau tidak punya Tapera?

Dalam diskusi di program Wawasan Polling Suara Surabaya pada Kamis (30/5/2024) pagi, sebagian besar masyarakat menilai Tapera bukan hal yang penting.

Dari data Gatekeeper Radio Suara Surabaya, dari total 84 pendengar yang berpartisipasi, 60 di antaranya (71 persen) menyatakan tidak penting. Kemudian 24 lainnya (29 persen) menyebut Tapera penting.

Sementara itu, dari data di Instagram @suarasurabayamedia, sebanyak 291 votes (82 persen) menyatakan Tapera tidak penting. Sedangkan 65 lainnya (18 persen) menyebutnya penting.

Menyikapi kebijakan Tapera, Lisman Manurung dosen Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (UI) mengatakan, keputusan pemerintah menggulirkan program Tapera dilakukan ketika ekonomi Indonesia sedang lesu. Sementara Tapera diwajibkan untuk semuanya.

“Ketika perekonomian kita lesu, ketika uang yang terbatas itu diambil lagi (untuk Tapera), maka curahan uang ke bawah akan berkurang. Dalam hal ini korbannya adalah UMKM. Jadi pandangan saya, timing-nya tidak tepat,” katanya ketika on air di Radio Suara Surabaya, Kamis pagi.

Menurut Lisman, program Tapera yang digulirkan pemerintah memang memiliki tujuan yang baik. Akan tetapi, tata kelolanya dinilai kalah dengan BPJS.

“BPJS Kesehatan sekarang, Anda bisa bayangkan, tidak ada lagi orang yang mengaku-ngaku tidak ada uang untuk berobat. Karena sistem keuangan di BPJS itu tidak pernah berhenti. Begitu disetor, langsung disedot oleh rumah sakit, Puskesmas dan segala macam. Sedangkan Tapera ini uangnya akan menumpuk di bank,” sebutnya.

Ia melihat keluhan dari masyarakat akan Tapera begitu deras. Apalagi dari kalangan buruh dengan gaji yang ketat dan krusial. Kata Lisman, kebijakan Tapera membuat mereka makin menjerit.

“Tetap saya melihat timing-nya penting untuk dipertimbangkan. Pembuat kebijakan sebaiknya mendengar dulu apa yang terjadi di sektor usaha. Pastinya setelah uang banyak disedot untuk Pemilu, ekonomi kita rawan,” sebut Lisman.

“Kami berharap pemerintah meninjaunya dan juga berusaha memperbaiki sistemnya,” sambung alumnus The Flinders University Australia tersebut.

Ia kembali mengimbau agar pemerintah belajar dari BPJS, yang ia nilai mampu membuat yang mampu membuat rumah sakit dan puskesmas penuh dan memberi pengobatan yang baik.

“Sebab perumahan, kesehatan, pendidikan, dan reformasi ini kan pelayanan wajib dari pemerintah sebenarnya, atau public service obligation. Jadi ini menjadi kewajiban pemerintah untuk menyediakannya,” harapnya. (saf/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
34o
Kurs