Prof. Rhenald Kasali praktisi bisnis menyatakan bahwa kota-kota besar di Indonesia telah mengalami perubahan yang besar.
Daftar urutan kota terpadat di Indonesia pun mengalami pergeseran. Surabaya dan Bandung tak lagi menduduki posisi kedua dan ketiga.
Surabaya telah tergusur oleh Bekasi. Bekasi berada di posisi dua di bawah Jakarta. Sedangkan Surabaya di ranking ketiga.
Sedangkan peringkat keempat dihuni kota penyangga Jakarta lainnya, yakni Depok. Sementara Bandung bergeser ke posisi kelima.
Menurut Rhenald Kasali, kota yang dulunya disebut “planet lain” hingga “tempat jin buang anak”, kini melejit menuju smart city yang kian dilirik para investor.
Terkait ranking kota terpadat di atas, Benny Poerbantanoe pakar tata kota dari Universitas Kristen (UK) Petra Surabaya menyatakan sepakat dengan pendapat Rhenald Kasali.
“Saya sependapat dengan yang disampaikan Prof. Rhenald Kasali. Tapi menurut saya, turun-naik kota besar dalam ranking di diskusi seperti itu, adalah hal yang lumrah. Yang penting berhentilah berpolemik (tentang) naik-turun ranking kota besar. Sebab kita justru ditantang lebih bersinergi merawat dan mengendalikan kota besar (yang) seimbang daya dukung dan daya tampungnya,” ujar Benny dalam program Wawasan Radio Suara Surabaya FM 100, Rabu (22/5/2024) pagi.
Menurut pria kelahiran Surabaya ini, tidak selalu punya ranking bagus itu baik. Sebab kota besar belum tentu tidak lost space.
“Maksud saya, komponen di dalamnya satu dan lainnya belum saling berkaitan. Bersinergi dengan optimal dan baik. Tapi justru mendorong migrasi dari darah lain untuk masuk berkehidupan di kota itu. Itulah runyamnya,” jelasnya.
Benny Poerbantanoe menjelaskan bahwa berkehidupan dan berpenghidupan di kota besar itu ada tiga, yaitu manusia yang tinggal dan hidup di kota itu, manusia yang sekadar numpang lewat di kota itu, dan manusia yang berkepentingan dengan kota itu, dalam hal ini adalah investor, yang sangat beragam perilaku dan empatinya terhadap ruang kota yang sehat dan nyaman.
“Yang terakhir ini sering kurang disadari oleh pamong praja sebagai regulator. Sehingga membuat kota pada kondisi lost space. Seperti meningkatnya mobilitas kendaraan bermotor, okupansi ruang publik, perubahan ruang urban. Semuanya itu terjadi karena paradigma stakeholder tentang ruang urban yang adalah tambang uang itu masih sempit. (Mereka) sekadar melihat hanya tambang uang yang harus dikeruk oleh semuanya, termasuk pamong praja dengan dalih peningkatan PAD. Itu yang perlu dievaluasi kembali,” jabarnya.
Benny menambahkan, fakta di lapangan menunjukkan, meski mendapatkan label kota besar, tapi realitanya banyak gedung mangkrak, tingkat hunian rendah, rumah horizontal dengan kavling sempit yang jauh dari sehat. Tak hanya itu saja, sarana pendidikan jauh dari akses yang mudah atau kurang dari sepuluh menit.
“Fenomena-fenomena inilah yang sepertinya perlu mendapat perhatian dari semuanya,” sebut Benny Poerbantanoe.
Ia menambahkan, pilihan hidup modern baru sebatas visual. Seperti gedung yang tinggi atau mal yang banyak. Tapi harus dilihat juga apakah tingkat huniannya bagus atau tidak.
“Apakah gedung-gedung itu dibangun karena tuntutan kebutuhan atau hanya karena pasar semu?” ujar Benny Poerbantanoe.
Benny Poerbantanoe juga menyorot tentang sarana transportasi. Menurutnya transportasi adalah konsekuensi atau akibat dari perkembangan ruang kota yang parsial.
“Jadi banyak yang masih harus dikerjakan bersama. Investor jangan memaksakan kehendak untuk mengganti ruang kota atau memperluas ruang kota sementara kebutuhan kita belum sampai ke sana. Mending dialihkan ke kota atau daerah pinggiran yang perlu dibangun dan diakselerasi untuk bisa nyaman dan sehat ekonominya,” tandas Benny. (saf/ham)