Jumat, 22 November 2024

Pengamat Pendidikan Dorong Pemerintah Perketat Regulasi tentang Study Tour

Laporan oleh Muhammad Syafaruddin
Bagikan
Ubaid Matraji Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) ketika diwawancarai jurnalis di Jakarta pada Kamis (2/5/2024). Foto: Antara

Bey Machmudin Penjabat (Pj) Gubernur Jawa Barat (Jabar) mengeluarkan surat edaran yang mengatur tentang pelaksanaan study tour setelah kecelakaan maut di Ciater, Subang pada akhir pekan lalu.

Dalam surat edaran (SE) Nomor: 64/PK.01/Kesra Tentang Study Tour ini, sekolah diminta memerhatikan kondisi kendaraan yang bakal digunakan.

Selain itu, SE itu memperketat izin kegiatan study tour yang dilaksanakan satuan pendidikan di wilayah masing-masing, salah satunya tidak dilakukan ke luar kota.

Dalam surat edaran Minggu 12 Mei 2024, Bey menyatakan permintaan itu sebagai antisipasi memasuki masa kenaikan kelas dan akhir tahun pelajaran serta liburan sekolah.

Sebelumnya, bus pariwisata dengan nomor polisi AD 7524 OG yang membawa rombongan SMK Lingga Kencana Depok, mengalami kecelakaan di Ciater, Subang pada Sabtu (11/5/2024) malam. Dalam kecelakaan maut itu, sebelas orang meninggal dunia dan puluhan orang lainnya luka-luka.

Menyikapi hal tersebut, Ubaid Matraji pengamat pendidikan mengimbau pemerintah mengeluarkan regulasi yang memperketat pelaksanaan study tour.

“Karena ini bukan kejadian pertama. Jadi setiap tahun, setiap semester, selalu ada berita tentang study tour yang memakan korban. Tapi belum ada sikap tegas dari pemerintah pusat maupun dinas pendidikan. Saya pikir ini harus disikapi dan belajar dari pengalaman yang sudah terjadi,” kata Ubaid dalam program Wawasan Radio Suara Surabaya FM 100, Selasa (14/5/2024) pagi.

Dalam temuan Ubaid, study tour memang tidak diwajibkan. Hanya saja yang tidak ikut pun tetap harus bayar. Menurut Ubaid, hal ini banyak ia temui di berbagai daerah.

“Soal study tour ini, ada aturan yang tidak tertulis bahwa ikut atau tidak ikut harus bayar. Sebenarnya ini pemaksaan yang terselubung,” ungkapnya.

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) itu menambahkan, besaran biaya yang harus dibayar itu berkonsekuensi menjadi pelanggaran hak anak.

“Contohnya, ketika biaya study tour ini belum lunas, maka surat keterangan lulus ini bisa tidak dikeluarkan oleh sekolah. Jadi ini sangat memberatkan orang tua dan terjadi pelanggaran hak anak,” ungkap Ubaid.

Ubaid menambahkan, atas banyak kasus yang ia temui itu, muncul kecurigaan bahwa study tour dijadikan modus sekolah agar para guru bisa jalan-jalan gratis, atau kesempatan sekolah meraup keuntungan materi.

“Kita ini punya problem serius, entah ini disadari pihak sekolah atau tidak, bahwa Indonesia negara terburuk di dunia untuk kemampuan literasi. Jika kita punya mimpi Indonesia Emas 2045, tetapi literasi masih terburuk di dunia, saya pikir ada agenda serius yang seharusnya dijadikan sesuatu yang urgent dan penting,” jabarnya.

Ubaid menyebut, pihak sekolah harus memiliki visi bagaimana mencerdaskan kehidupan bangsa. Dan hal itu tidak sekadar kunjungan ke tempat wisata yang berbayar.

“Tolong, pihak sekolah harus tahu bahwa ada jutaan anak Indonesia yang tidak bisa sekolah. Kita harus memikirkan itu,” tegasnya.

Yang tidak kalah penting, Ubaid menekankan agar para guru harus mampu menjadikan sekolah menjadi tempat menyenangkan, aman, serta ramah anak. (saf/ham)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
35o
Kurs