Sebagian besar bakal calon kepala daerah jalur perseorangan/independen untuk Pilkada 2024 masih belum memenuhi syarat pada jadwal penyerahan dokumen syarat dukungan hari terakhir, Minggu (12/5/2024) kemarin.
Berdasarkan data KPU, sampai Sabtu (11/5/2024) pukul 16.00 WIB, ada 168 pasangan bakal calon kepala daerah dari jalur perseorangan dan sudah mendapatkan akun sistem informasi pencalonan (Silon) Pilkada.
Mereka semestinya mengunggah data dukungan masyarakat sebagai syarat maju pilkada dari jalur independen. Namun, baru lima pasangan bakal calon yang memenuhi seluruh persyaratan dukungan awal. Artinya masih ada 163 bakal pasangan calon independen yang belum diterima pendaftarannya.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI pun buka suara. Idham Holik anggota KPU RI menyampaikan, tantangan calon independen memang cukup berat, selain harus mengelola dan mengadministrasikan dukungan masyarakat berupa KTP elektronik yang dikumpulkan dari para pemilih, masa penyerahannya pun relatif pendek. Hanya 8-12 Mei atau lima hari saja.
Selain itu, tidak jarang KPU mengembalikan dokumen persyaratan karena para bakal calon tidak memenuhi syarat minimal 6,5-10 persen dari total daftar pemilih tetap masing-masing wilayah, sesuai UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Adapun lima pasangan bakal calon yang memenuhi persyaratan, yakni masing-masing satu untuk Pilkada Sikka (NTT), Sumba Tengah (NTT), dan satu di Pilkada Kutai Barat (Kalimantan Timur), serta ada dua bakal calon di Pilkada Gorontalo (Sulawesi Utara).
Menurut Idham, jumlah peminat jalur independen Pilkada 2024 memang relatif turun dibandingkan edisi sebelumnya. Dari 545 daerah yang menggelar Pilkada 2024, calon dari jalur independen hanya diminati 163. Sedangkan pada Pilkada 2020 yang digelar di 270 daerah, peminat jalur perseorangan mencapai 203 bakal pasangan calon.
Menanggapi hal tersebut, Surokim Abdussalam pakar politik sekaligus Dosen Universitas Trunojoyo Madura (UTM) dalam program Wawasan Suara Surabaya FM 100, Senin (13/5/2024), menyebut turunnya minat calon dari jalur independen di Pilkada 2024 itu, bisa jadi karena beberapa faktor.
Faktor pertama, terkait teknis persyaratan. Menurutnya, Indonesia memang punya hobi membangun sistem demokrasi, tapi secara bersamaan juga sering melakukan hal-hal yang menyulitkan di level tersebut.
“Secara substantif, semua orang, bahkan partai politik (parpol) juga menyadari bahwa calon independen diperlukan. Tapi secara teknis keikhlasannya itu kurang, sehingga persyaratannya (yang diciptakan) itu akhirnya agak sulit dipenuhi. Itu yang kadang-kadang membuat demokrasi kita yang mungkin ideal, hanya sekadar menjadi hiasan di atas kertas saja. Termasuk persyaratan-persyaratan teknis dalam pengusulan calon independen seperti ini,” ujar Dosen UTM itu.
Kata Surokim, mengelola dukungan masyarakat dengan mengumpulkan KTP saja sudah sangat berat, ditambah lagi keseluruhannya harus diverifikasi secara faktual, dengan syarat keakuratannya lebih dari 50 persen.
Terlebih, lanjutnya, tempo waktu pengumpulan KTP sebesar itu dilakukan kurang dari satu tahun. Padahal, kalau ingin serius maju jalur independen, waktu yang diberikan harusnya lebih panjang, yaitu lebih dari satu tahun.
Kemudian faktor kedua, terkait relasi antara penguasa dengan pihak penyelenggara. Menurutnya tantangan yang dihadapi para calon independen bukan hanya sekedar memenuhi persyaratan secara administratif. Melainkan, adanya potensi kandidat lain ikut menghambat supaya si calon indpenden tersebut tidak lolos persyaratan verifikasi.
“Bayangkan kalau sebetulnya kandidat (independen) itu bisa memenuhi persyaratan. Kalau kemudian dinyatakan verifikasi faktualnya meleset 1-2 saja, lalu tidak punya backup menambah jumlah dukungan, itu cukup gampang untuk dipatahkan pemenuhan persyaratan yang harus dipenuhi si calon independen,” ujarnya.
Pengamat politik itu mengakui, dimana-mana calon independen merupakan ancaman dan diwaspadai oleh kandidat atau parpol lain yang ikut berkontestasi.
Karenanya, dia menegaskan yang paling penting untuk dijaga sebetulnya adala independensi penyelenggara. Apalagi, lanjut Rokim, penyelenggara punya relasi yang menguntungkan incumbent/petahana, karena sebelumnya sudah sering berkomunikasi dan berkoordinasi.
Pada kesempatan itu, Surokim juga turut berkomentar soal tidak adanya pasangan calon independen di wilayah Jawa Timur. Menurut Peneliti senior Lembaga Surabaya Survei Center (SSC) itu, hanya malaikat yang bisa mendaftar jalur independen di Jatim, melihat peta politik yang sudah tertata oleh setiap parpol.
“Sejauh ini kelasnya kalau kabupaten/kota mungkin masih bisa dipenuhi oleh kandidat jalur independen. Tapi kalau (mendaftar sebagai calon) Gubernur Jawa Timur dengan DPT 28 juta dan harus mengumpulkan 6,5 x 28 juta yang di atas 1,5 ya memang sangat memberatkan. Dan saya sebutkan itu hanya malaikat yang bisa mendaftar,” jelasnya. (bil/ham)