Jumat, 22 November 2024

IDAI Ingatkan Adanya Risiko Kontaminasi ASI yang Dibekukan Lalu Diubah Jadi Bubuk

Laporan oleh Farid Kusuma
Bagikan
Ilustrasi, ibu menyusui Ilustrasi - Ibu menyusui. Foto: Shutterstock.

Tren air susu ibu (ASI) yang dibekukan dan diubah menjadi bubuk (freeze-dryed) layaknya susu formula tengah menjadi perbincangan publik di media sosial.

ASI dibekukan pada suhu ekstrem -50 C selama 3 sampai 5 jam, kemudian mengubah ASI beku menjadi susu bubuk menggunakan teknik sublimasi, yaitu transisi ekstraksi air selama dua hari langsung dari bentuk padat (es) ke gas (uap air) tanpa fase cair.

Umumnya, satu liter ASI akan menghasilkan sekitar 140 gram susu bubuk.

Metode pengeringan beku atau lyophilization bertujuan memperpanjang masa simpan ASI, dari umumnya 6 bulan di dalam freezer menjadi 3 tahun di freezer.

Selain itu, metode pengeringan beku juga untuk penghematan ruang penyimpanan ASI, kenyamanan untuk ibu yang sering bepergian dan ingin terus memberikan ASI di luar masa cuti melahirkan.

Naomi Esthernita Fauzia Dewanto Ketua Satgas ASI Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mengatakan, dampak pengeringan beku pada komponen penting ASI saat ini masih belum diketahui.

Metode itu adalah temuan yang relatif masih sangat baru, belum lengkap pembuktian melalui riset ilmiah. Sehingga, belum ada aturan atau rekomendasi penggunaannya oleh organisasi kesehatan seperti CDC, AAP, atau FDA.

Proses pengeringan beku dinyatakan dapat mempertahankan struktur molekul susu. Namun, mengingat penggunaan suhu tinggi saat proses pengeringan untuk menghilangkan kandungan air, metode akan berdampak pada rasa dan kualitas ASI.

“Tanpa bukti penelitian yang memadai, hingga saat ini belum jelas apakah freeze-dryed ASI memiliki rasio protein, lemak, karbohidrat yang tepat sebagai sumber nutrisi penting yang dibutuhkan bayi, berikut zat aktif untuk kekebalan tubuh dan tumbuh kembang bayi,” ujar Naomi lewat keterangan tertulis yang diterima suarasurabaya.net, Kamis (9/5/2024).

Lebih lanjut, Naomi mengingatkan ada sejumlah risiko yang terjadi dalam proses pengeringan beku ASI. Salah satunya, metode ini tidak melalui prosedur pasteurisasi yang bertujuan membunuh bakteri berbahaya.

Dalam hal itu, pasteurisasi sengaja dihindari untuk menjaga probiotik vital yang ada dalam ASI.

“Dengan demikian, risiko kontaminasi tetap menjadi ancaman, khususnya pada saat rekonsiliasi penambahan air pada bubuk freeze-dryed ASI sebelum dikonsumsi bayi,” ungkapnya.

Satgas ASI IDAI juga memberikan catatan khusus terkait produk ASI bubuk ini merupakan Radha’ah atau hubungan mahram yang diakibatkan oleh persusuan yang dilakukan oleh seorang perempuan kepada bayi yang bukan anak kandungnya.

Permasalahan itu penting bagi mayoritas umat Muslim di Indonesia. Apabila bubuk ASI dilarutkan kembali dengan air, secara wujud warna serta rasanya kembali menjadi susu, maka berlaku Radha’ah bagi semua pihak terkait.

“Menyusui dan memerah ASI untuk bayi mungkin terasa melelahkan, dan dapat dimengerti bila ibu ingin mencari cara termudah untuk memastikan bayi tetap memperoleh ASI. Menyusui langsung dari payudara ibu sangat direkomendasikan agar dapat terjalin kontak erat antara ibu dan bayi, menumbuhkan rasa aman dan meningkatkan ikatan orang tua-anak. Menyusui bukan sekadar memberikan ASI,” jelas Naomi.

Satgas ASI Ikatan Dokter Anak Indonesia mengingatkan semua pihak agar tidak gegabah mempromosikan atau memberikan freeze-dryed ASI kepada bayi, apalagi bayi dengan kondisi medis tertentu seperti prematur atau bayi yang mengalami gangguan kekebalan tubuh atau penyakit kronis.(rid/faz)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
35o
Kurs