Jumat, 22 November 2024

Pengamat Sayangkan Pemerintah Cabut Status Internasional di 17 Bandara

Laporan oleh Muhammad Syafaruddin
Bagikan
Ilustrasi - Bandara Internasional Juanda di Sidoarjo, Jawa Timur. Foto: Humas Bandara Juanda Ilustrasi - Bandara Internasional Juanda di Sidoarjo, Jawa Timur. Foto: Humas Bandara Juanda

Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mencabut status internasional pada 17 bandara di Indonesia.

Hal itu tertuang dalam Keputusan Menteri (KM) Nomor 31 Tahun 2024 tentang Penetapan Bandar Udara Internasional pada 2 April 2024.

Pencabutan status internasional 17 bandara dari 34 bandara internasional ini untuk mendorong pemulihan sektor penerbangan nasional.

Menurut Adita Irawati Juru Bicara Kemenhub, pencabutan itu karena sebagian hanya melayani beberapa negara dan jumlah penerbangannya makin hari makin berkurang. Sebagian lagi bahkan sudah tidak melayani penerbangan internasional.

Terkait hal tersebut, Ruth Hanna Simatupang pengamat penerbangan dan mantan investigator KNKT mengaku kecewa dengan keputusan tersebut.

“Sebab bandara internasional seharusnya dapat mempecepat pertumbuhan ekonomi, budaya, dan hubungan internasional dengan wilayah setempat,” katanya dalam program Wawasan Radio Suara Surabaya FM 100, Selasa (7/5/2024) pagi.

Dalam proses pembangunan sebuah bandara, menurut Ruth, pemerintah daerah sejatinya menyanggupi pemenuhan teknis dan infrastruktur. Salah satunya akses jalan raya menuju bandara.

Namun dalam praktiknya, banyak pemerintah daerah yang justru melupakan pembangunan sektor pariwisata. Padahal pariwisata merupakan salah satu sektor yang efektif mendatangkan wisatawan.

“Dampak adanya bandara internasional tentunya dapat mendatangkan wisatawan mancanegara. Sehingga bisa meningkatkan perekonomian dareah dengan adanya tujuan-tujuan wisata tersebut,” jelas Ruth.

Ruth mengungkapkan, dengan pencabutan status internasional itu dapat membawa kerugian bagi Indonesia di mata forum internasional. Sebab pemerintah bisa dianggap kurang serius dalam mengelola suatu bandara.

Selain itu, pencabutan status ini juga akan menyulitkan wisatawan luar negeri yang hendak mengunjungi destinasi-destinasi wisata di Indonesia.

“Contohnya, ada wisatawan yang sudah mempersipakan selama tiga-empat bulan untuk berwisata ke Danau Toba. Namun karena status internasional di Bandara Silangit telah dicabut, akhirnya mereka harus melewati Bandara Kualanamu. Padahal jaraknya Bandara Kualanamu ke Danau Toba cukup jauh. Sehingga (wisatawan) harus mengeluarkan biaya lagi,” ujarnya.

Selain itu, status internasional dalam sebuah bandara juga dapat menambah maskapai asing agar dapat direct flight ke bandara tersebut.

Sehingga penghasilan yang didapatkan akan lebih besar jika dibandingkan dengan hanya menerima maskapai lokal untuk turis lokal.

Ruth juga berharap penurunan status di 17 bandara tidak digunakan maskapai penerbangan untuk menaikkan harga domestic flight.

Ruth berharap agar kepala daerah dan pemerintah pusat, khususnya Dirjen Perhubungan Udara Kemenhub, mengkaji ulang studi rencana pembangunan suatu bandara, sebelum menyetujuinya.

Hal tersebut dapat dihitung dari jumlah peminat yang akan terbang ke bandara tersebut dan infrastruktur untuk tujuan wisata yang akan dijual. Bukan hanya sekadar meningkatkan prestise suatu wilayah atau kepala daerah.

“Kalau hal itu sudah tercapai, saya yakin bandara-bandara yang ada di Indonesia pasti akan berkembang jauh lebih baik. Karena, sayang kalau hanya membangun bandara internasional namun tiak ada penumpangnya, lalu nanti hanya seperti bandara mati,” harapnya. (azw/saf/ham)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
36o
Kurs