Ali Fikri Juru Bicara Bidang Penindakan dan Kelembagaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatakan, Penyidik KPK sedianya memeriksa Ahmad Mudhlor Ali Bupati Sidoarjo dalam statusnya sebagai tersangka, terkait pengembangan perkara dugaan tindak pidana korupsi pemotongan uang insentif Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan pemerintah daerah Sidoarjo, Jawa Timur.
Kata Ali, perkara itu bermula dari kegiatan tangkap tangan KPK pada Januari 2024.
Menurut dia, KPK telah berkirim surat kepada Gus Muhdlor untuk datang memenuhi panggilan penyidik. Tapi, Bupati Sidoarjo berusia 33 tahun itu memberi konfirmasi melalui kuasa hukumnya kalau tidak hadir tanpa memberi alasan.
“Penyidik KPK telah menyampaikan surat panggilannya sejak 26 April 2024 lalu. Namun, hari ini (3 Mei 2024) kami menerima surat konfirmasi dari Kuasa Hukumnya, bahwa Ahmad Mudhlor tidak bisa memenuhi panggilan pemeriksaan tersebut tanpa disertai alasan ketidakhadirannya,” ujar Ali dalam keterangannya, Jumat (3/5/2024).
Sebelumnya, pada 19 April 2024 lalu, Gus Muhdlor juga tidak hadir memenuhi panggilan penyidik KPK dengan alasan sakit.
Ali menegaskan, Penyidik KPK tidak bisa menerima konfirmasi ketidakhadiran yang tidak disertai dengan alasan tersebut.
Padahal, pemeriksaan oleh penyidik, seharusnya bisa menjadi kesempatan bagi terperiksa untuk menjelaskan informasi dan keterangan yang diketahuinya, bukan justru melakukan penghindaran.
Walau Gus Muhdlor mengajukan pra peradilan atas statusnya sebagai tersangka, lanjut Ali, hal itu tidak bisa menunda proses pemeriksaan di KPK.
“Di sisi lain, penting dipahami Praperadilan yang diajukan sama sekali tidak menunda atau pun menghentikan semua proses penyidikannya,” jelasnya.
Kalau memang menghormati proses hukum, sambung Ali, seharusnya AM (Ahmad Muhdlor) hadir sesuai panggilan Tim Penyidik KPK.
Kemudian dalam pendampingannya, kuasa hukum seharusnya juga berperan untuk mendukung kelancaran proses hukum, bukan justru memberikan saran-saran yang bertentangan dengan norma-norma hukum.
“Tentu kami juga memahami, kepada pihak-pihak yang diduga melakukan perintangan ataupun penghalangan proses penyidikan, KPK tak segan menerapkan pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 (UU TPK),” tegasnya.
Pasal 21 UU TPK tersebut berbunyi “Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Sekadar diketahui, dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi pemotongan uang insentif Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan pemerintah daerah Sidoarjo, Jawa Timur, sejauh ini KPK telah menetapkan tiga orang sebagai tersangka, masing-masing Siska Wati (SW) Kasubbag Umum dan Kepegawaian Badan Pelayanan Pajak Daerah (BPPD) Kabupaten Sidoarjo, Ari Suryono (AS) Kepala BPPD Sidoarjo, serta Gus Muhdlor Bupati Sidoarjo. Untuk saat ini, tinggal Gus Muhdlor yang belum ditahan.
Siska Wati diduga melakukan pemotongan insentif sekitar 10 sampai 30 persen dari setiap ASN BPPD Sidoarjo tahun 2023, yang totalnya mencapai Rp2,7 miliar.
Berdasarkan pemeriksaan, Tim KPK memperoleh informasi pemotongan dan penerimaan dana insentif itu antara lain dipakai untuk kebutuhan Kepala BPPD dan Bupati Sidoarjo. (faz/iss/rid)