Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya menarget zero stunting di Kota Pahlawan segera tercapai.
Berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2023, prevalensi stunting di Surabaya masih 1,6 persen. Dua tahun sebelumnya, yakni 2021 masih 28,9 persen. Lalu menurun pada akhir 2022 menjadi 4,8 persen.
Eri Cahyadi Wali Kota Surabaya berharap, stunting bisa terus turun drastis hingga nihil kasus dalam waktu cepat.
“Saya berharap dengan digerebek bersama warga Surabaya, (sehingga) stunting bisa terus turun. Dengan model ini, maka saya yakin bisa menurunkan angka kemiskinan, pengangguran, dan putus sekolah secara lebih drastis lagi,” kata Eri pada Senin (29/4/2024).
Meski tinggal 1,6 persen, lanjut Eri, tantangannya adalah mayoritas kasus stunting di Surabaya adalah balita yang punya penyakit bawaan.
“Mereka juga bukan warga asli Surabaya, tapi sudah ber-KTP Surabaya. Sehingga harus diberikan intervensi,” kata Eri lagi.
Langkah awal untuk mengatasinya, lanjut Eri, Pemkot akan menyembuhkan penyakit bawaan terlebih dulu. Kemudian menaikkan berat badan dan tinggi badan.
“Jadi kami akan berusaha untuk menyembuhkan penyakit bawaan. Kalau sudah penyakit bawaan, maka untuk sembuh dari stunting agak sulit. Kami akan berkonsentrasi ke sana. Seperti hidrosefalus, jantung, atau yang memang sudah bawaan sejak kecil yang tidak bisa disembuhkan, tetapi kita jaga kesehatannya,” tegasnya.
Inovasi Pemkot bersama warga dalam mengentaskan stunting, pengangguran, dan kemiskinan, lanjutnya, akan diperkuat melalui pembentukan Kampung Madani.
“Kita akan mengurangi kemiskinan dengan cara yang mampu membantu yang tidak mampu. Saya berharap setiap RW, maka yang mampu bisa bergerak membantu yang tidak mampu. Tapi di RW yang mampu semua, dia bisa membantu RW yang lainnya,” tuturnya. (lta/saf/ipg)