Dokter spesialis kesehatan jiwa di Jakarta menganjurkan setop atau hentikan kebiasaan mengukur kebahagiaan berdasarkan standar orang lain.
Hal itu disampaikan dr. Zulvia Oktanida Syarif spesialis jiwa dari RSUD Tarakan Jakarta dan dr. Yenny Sinambela, dokter spesialis jiwa Rumah Sakit Khusus Daerah (RSKD) Duren Sawit Jakarta, dalam seminar edukasi “Bahagia Tanpa Syarat” di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Minggu (27/4/2024).
Keduanya sepakat bahwa faktor penghambat kebahagiaan kerap berasal dari munculnya tekanan dalam diri seseorang untuk bisa mencapai sesuatu atas standar ukur kebahagiaan orang lain.
“Misalnya usia segini mestinya sudah menikah, usia sekian mestinya sudah bekerja. Kemudian kalau sudah menikah, mestinya sudah hamil, begitu. Jadi banyak sekali standar-standar sosial yang menjadi pressure atau tekanan, itu akan menghambat orang menjadi bahagia,” kata dr. Vivi sapaan akrab Zulvia.
Sementara dr Yenny menambahkan, ukuran kebahagiaan orang lain tentu berbeda. Karena pada diri manusia memiliki keunikannya sendiri-sendiri yang bisa dipandang sebagai kelebihan maupun kekurangan.
“Permasalahan muncul ketika kita menghadapi hal-hal yang di luar ekspektasi tertentu. Untuk merasa bahagia, seseorang mesti belajar untuk menerima kalau dirinya unik sehingga bisa melihat sisi positifnya, tidak terpaku pada sisi negatifnya saja,” kata dr Yenny.
Di era internet seperti sekarang, lanjutnya, sangat mudah untuk memberikan ekspektasi-ekspektasi tertentu sebagai standar kebahagiaan, sehingga banyak sekali penghambat-penghambat yang membuat seseorang merasa tidak bahagia.
Misalnya, flexing, aktivitas pamer barang atau kehidupan mewah lewat media sosial. Hal itu berdampak pada ukuran kebahagiaan menjadi berdasarkan materi. Padahal tidak selalu seperti itu.
Melalui seminar tersebut, menjadi salah satu upaya dari Dinas Kesehatan (Dinkes) DKI Jakarta untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam peduli dengan kebahagiaannya sendiri. Hal itu agar permasalahan kesehatan mental di Jakarta berkurang.
Berdasarkan laporan The Least and Most Stressful Cities Index tahun 2021, Jakarta masuk ke dalam daftar 10 kota dengan tingkat stres tertinggi di dunia,
Riset global yang lain dalam Health Service Monitoring 2023 yang menyurvei pandangan 23.274 responden dewasa yang tersebar di 31 negara pada periode 21 Juli-4 Agustus 2023 menyatakan bahwa kesehatan mental menjadi masalah kesehatan yang paling mengkhawatirkan, di atas kanker. (ant/azw/bil/ham)