Firman Kurniawan pakar komunikasi digital dari Universitas Indonesia membagikan kiat-kiat sederhana agar masyarakat tidak tertipu oleh konten rekayasa teknologi artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan saat berbelanja online.
Mulai dari mencermati visual yang terlihat berlebihan hingga melakukan pengecekan berulang dengan layanan yang tersedia di layanan mesin pencarian menjadi beberapa kiat yang dibagikan.
“Pertama kalau dari visual untuk melihat sesuatu itu asli atau dari AI biasanya untuk yang AI hasilnya terlampau sempurna. Jadi kalau misalnya gambar bergerak dalam bentuk video, dia itu mulus tidak ada jeda padahal kalau di kenyataan saat orang bicara kadang suka ada jeda atau diam sebentar,” kata Firman dilansir dari Antara pada Minggu (21/4/2024).
Ia mencontohkan salah satu konten video buatan AI yang viral di media sosial ialah saat video pidato Joko Widodo Presiden direkayasa seolah-olah ia berbicara dengan Bahasa Mandarin pada Oktober 2023.
Video itu beredar luas dan menyebabkan kegaduhan karena di dalam video rekayasa buatan AI itu terlihat Presiden sangat mahir berbincang menggunakan Bahasa Mandarin.
Padahal setelah diselidiki video tersebut sumbernya berasal dari 2015 yang diunggah oleh YouTube The U.S. – Indonesia Society (USINDO) dan dalam video itu Joko Widodo Presiden berpidato menggunakan Bahasa Inggris.
“Nah yang terlalu lancar seperti itu bisa jadi pembeda. Kasus video Pak Jokowi pakai Bahasa Mandarin itu terlihat dia lancar dan tidak ada jeda. Padahal di video aslinya dia malah banyak jeda,” kata Firman.
Hal serupa juga dapat menjadi pembeda pada konten iklan produk-produk buatan AI agar masyarakat tidak tertipu saat membeli produk tersebut.
Penipuan belanja daring menggunakan AI yang marak dilakukan biasanya memang kerap menggunakan konten visual dan audio, dalam penipuan berbelanja daring menggunakan AI biasanya pelaku menampilkan testimoni seolah berasal dari selebritas atau pesohor.
Dengan teknologi deepfake menggunakan suara selebritas membuat video-video itu terasa nyata seolah testimoni, padahal pihak yang bersangkutan tidak pernah membuat konten tersebut.
Kiat lainnya yang dibagikan Firman ialah untuk melihat konten jualan daring dalam bentuk gambar buatan AI atau tidak ialah masyarakat bisa memeriksa keasliannya dengan memanfaatkan layanan yang tersedia di mesin pencarian.
“Biasanya untuk produk yang tidak bergerak itu kadang hasil gambarnya terlalu indah. Jadi sejak awal patut dicurigai dan itu bisa dicek langsung misalnya pakai Google, itu bisa dicari dan biasanya bisa keluar asal atau gambar aslinya. Banyak aplikasi lain juga dicari saja sebagai alat detektor konten AI,” kata Firman.
Langkah selanjutnya, Firman menyarankan agar masyarakat lebih baik berbelanja di aplikasi dengan penyelenggara yang otoritatif seperti marketplace dan e-commerce.
“Dengan layanan yang memang ada penanggung jawabnya memang lebih baik, sehingga apabila ada produk yang tidak sesuai atau produk tidak sampai itu bisa dikomplain dan ditanggapi. Itu menjadi keunggulan dari marketplace karena ia bergerak sesuai aturan yang berlaku dari pemerintah,” katanya.
Meski demikian apabila masyarakat ingin berbelanja di media sosial, Firman menyebutkan hal itu tidak bermasalah tapi masyarakat tetap perlu jeli sehingga bisa membedakan penjual yang jujur atau penipu.
Ia pun menyebutkan beberapa ciri pelaku usaha yang berjualan di media sosial dan bisa dipercaya ialah penjual yang memiliki pengikut yang banyak dan memiliki testimoni dari pelanggan.
“Jadi walaupun berbelanja di media sosial, dengan melihat ciri-ciri itu masyarakat bisa tetap aman dari penipuan,” katanya. (ant/azw/saf/ham)