Senin, 25 November 2024

Polling Suara Surabaya: Masyarakat Sepakat Pramuka Ekstrakulikuler Wajib di Sekolah

Laporan oleh Muhammad Syafaruddin
Bagikan
Hasil Wawasan Polling Suara Surabaya Media terkait apakah Pramuka seharusnya wajib atau sukarela? Foto: Bram suarasurabaya.net

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) memastikan Pramuka sebagai ekstrakurikuler wajib disediakan oleh satuan pendidikan.

Anindito Aditomo Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) menegaskan, setiap sekolah hingga jenjang pendidikan menengah wajib menyediakan Pramuka sebagai kegiatan ekstrakurikuler dalam Kurikulum Merdeka.

Peraturan Mendikbudristek Nomor 12 Tahun 2024 tentang Kurikulum pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah mewajibkan sekolah menyelenggarakan minimal satu ekstrakurikuler.

Undang-undang Nomor 12 Tahun 2010 tentang Gerakan Pramuka juga mewajibkan satuan pendidikan untuk memiliki gugus depan.

“Permendikbudristek 12/2024 tidak mengubah ketentuan bahwa Pramuka adalah ekstrakurikuler yang wajib disediakan sekolah. Sekolah tetap wajib menyediakan setidaknya satu kegiatan ekstrakurikuler, yaitu Pramuka,” ujar Anindito di Jakarta, Senin (1/4/2024).

Anindito menegaskan, sejak awal Kemendikbudristek tidak memiliki gagasan untuk meniadakan Pramuka. Adapun Permendikbudristek Nomor 12 Tahun 2024 justru menguatkan peraturan perundangan dalam menempatkan pentingnya kegiatan ekstrakurikuler di satuan pendidikan.

Dalam praktiknya, Permendikbudristek Nomor 12 Tahun 2024 hanya merevisi bagian Pendidikan Kepramukaan dalam Model Blok yang mewajibkan perkemahan, menjadi tidak wajib.

Namun demikian, kata Anindito, jika satuan pendidikan akan menyelenggarakan kegiatan perkemahan, maka tetap diperbolehkan. Selain itu, keikutsertaan murid dalam kegiatan ekstrakurikuler juga bersifat sukarela.

Menurut Anda, Pramuka seharusnya wajib atau sukarela?

Dalam diskusi di program Wawasan Polling Suara Surabaya pada Kamis (4/4/2024) pagi, sebagian besar masyarakat menyebut Pramuka seharusnya menjadi ekstrakulikuler wajib di sekolah.

Dari data Gatekeeper Radio Suara Surabaya, dari total 55 pendengar yang berpartisipasi, 42 di antaranya (76 persen) menyebut Pramuka seharusnya bersifat wajib. Lalu 13 lainnya (24 persen) menyatakan Pramuka seharusnya bersifat sukarela.

Sementara itu, dari data di Instagram @suarasurabayamedia, sebanyak 174 votes (52 persen) menilai Pramuka seharusnya bersifat wajib. Sedangkan 159 lainnya (48 persen) mengatakan Pramuka bersifat sukarela.

Menyikapi hal tersebut, Doni Koesoema Albertus dari Dewan Pengarah Aliansi Penyelenggara Pendidikan Indonesia menerangkan bahwa masalah Pramuka bukan sekadar soal wajib atau tidak.

Sebab Pramuka telah diatur dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2010 tentang Gerakan Pramuka. Sementara Permendikbudristek 12/2024 seharusnya bersifat mendukung undang-undang itu.

Menurut Doni, di dalam Kurikulum 2013 ada kewajiban siswa kelas VII dan X, atau tahun pertama di SMP dan SMA, wajib mengikuti Pramuka. Karena peramuka ini dianggap serius sebagai cara untuk membentuk karakter peserta didik.

Nah, lanjut Doni, aturan tersebut diubah dalam Kurikulum Merdeka. Di mana Pramuka tak lagi diwajibkan, melainkan hanya sebagai pilihan.

“Masalahnya sebagai lembaga pendidikan atau mereka yang mengurusi Kemendikbudristek, sejauh mana menganggap pentingnya Pramuka? Karena kalau melihat argumentasi Mas Menteri saat di hadapan DPR RI, Pramuka mau digabungkan dengan P5,” terang Doni ketika on air di Radio Suara Surabaya, Kamis pagi

Doni menilai rencana itu kurang tepat dan kontradiktif. Sebab P5, atau Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila, seharusnya menjadi bagian dari Pramuka.

“Bukan sebaliknya. Pramuka menjadi bagian dari P5. Kemudian P5 diwajibkan. Ini kontradiktif,” kritik Doni.

Doni menjelaskan jika sesuatu yang diwajibkan, apalagi di dalam P5, boleh untuk membentuk karakter. Apalagi P5 ada di dalam karakter. Berbeda dengan Pramuka yang terstruktur, sistematis, dan sudah ada kurikulumnya.

“Jadi pertanyaannya, paham tidak Kemendikbudristek ini bahwa Pramuka ada di dalam undang-undang, dan harus didukung? Kalau menurut undang-undang, Pramuka bagian dari pendidikan non-formal. Tapi selama ini yang terjadi kan malah yang dipendidikan non-formal tidak ada Pramuka,” terangnya.

Oleh sebab itu dalam Kurikulim 2013 memberikan peluang bahwa hal itu harus ditekankan. Maka ada kewajiban. Akan tetapi, kalau Pramuka menjadi opsional, bagaimana jika tidak ada yang memilih? Pramuka bisa hilang, menurut Doni.

“Masalah terakhir adalah konten dan isi. Mengapa Pramuka menjadi membosankan, menjemukan, mungkin dianggap tidak efektif? Karena tidak ada kerja sama antara Kwartir nasional dengan Kemendikbudristek. Sebab Pramuka kan di bawah Kemenpora,” jabarnya.

Menurut Doni, seharusnya hal ini bisa diintegrasikan dengan Kemendikbudristek. Termasuk bagaimana memberikan pelatihan dan pendidikan untuk guru.

“Sebab saat diwajibkan kemarin, guru-gurunya yang tidak mengerti Pramuka tapi mereka menggarap Pramuka. Ini sesuatu yang tidak tepat. Ketika kemudian tidak efektif, Pramuka lalu tidak diwajibkan. Ini salah logika,” terangnya.

Ia menegaskan bahwa persoalannya ada pada komitmen dan pemahaman menteri serta Kemendikbudristek tentang pendidikan kepramukaan. (saf/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Senin, 25 November 2024
31o
Kurs