Jumat, 22 November 2024

Pakar Sebut Stunting dan Pola Makan Tak Seimbang Jadi Penyebab Obesitas

Laporan oleh Muhammad Syafaruddin
Bagikan
Ilustrasi obesitas pada anak. Foto: Getty Images

Mitra Muda UNICEF pernah mengungkap, satu dari lima anak di Indonesia mengalami obesitas dan satu dari tujuh remaja di Indonesia mengalami obesitas.

Data Riset Kesehatan Dasar 2018 menunjukkan, kelebihan berat badan pada anak di Indonesia. Sekitar 10,8 persen dan 9,2 persen anak berusia 5-12 tahun mengalami kegemukan dan obesitas secara berurutan.

Keduanya salah satu faktor risiko yang meningkatkan kemungkinan terjadinya diabetes. Oleh karena itu menurunkan angka kegemukan dan obesitas pada anak jadi langkah preventif untuk mengurangi risiko terjadinya diabetes tipe 2, karena gaya hidup saat mereka dewasa.

Informasi ini menambah data yang pernah diungkap Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) tahun lalu.

Kasus diabetes pada anak melonjak sampai 70 kali lipat sejak 2010 hingga awal 2023. Itu dari prevalensi diabetes anak pada 2010, 0,028 per 100.000 anak. Sementara per Januari 2023, angkanya 2 per 100.000 anak.

UNICEF Indonesia juga membagikan bahwa resiko obesitas sangat beragam dan beberapa di antaranya merujuk pada penyakit paling mematikan di Indonesia.

World Health Organization (WHO) menjabarkan bahwa diabetes dan jantung menjadi peringkat tiga besar penyakit kronis yang menyumbang angka kematian paling banyak di Indonesia.

Menyikapi hal tersebut Dr. Andriyanto, S.H., M.Kes. adalah Ketua Pimpinan Pusat Asosiasi Nutrisionis Indonesia (ASNI) mengamini, prevalensi kegemukan dan obesitas pada anak usia usia 5-12 tahun cukup tinggi dan membahayakan.

“Sebab ini persoalan akibat. Akibat yang paling dikhawatirkan, kecuali aspek psikologis, adalah ketika di atas usia 45 tahun, akan cenderung menderita penyakit degeneratif, penyakit sindrom metabolis atau penyakit tidak menular. Potensi resiko untuk penyakit diabetes, jantung koroner, dan hipertensi menjadi lebih besar,” terang Andriyanto dalam program Wawasan Radio Suara Surabaya, Senin (1/4/2024).

Andriyanto menjabarkan berbagai penyebab obesitas. Pertama, masih adanya stunting. Ia menjelaskan bahwa anak stunting itu cenderung obesitas.

“Karena anak stunting itu kekurangan protein hewani. Maka dia lebih banyak konsumsi karbohidrat atau gula, atau minyak barang kali. Dan itu ketika berlebihan, maka akan membuatnya jadi lebih berat daripada (menjadi tinggi). Jadi kecenderungannya semacam itu,” jelasnya.

Faktor kedua adalah pola makan. Hal ini karena anak lebih banyak mengonsumsi karbohidrat daripada protein.

“Jadi ketidakseimbangan antara input dengan output. Ketika anak-anak masa kini lebih suka bermain dengan gadget, maka aktivitasnya menjadi berkurang. Output-nya berkurang. Padahal dia lebih banyak mengonsumsi makanan,” jelas Penjabat (Pj) Bupati Pasuruan itu.

Selain itu, Andriyanto menjelaskan bahwa obesitas juga memiliki faktor keturunan. Seandainya bapak atau ibu yang tidak obesitas, kemungkinan anaknya obesitasnya hanya 20 persen.

Jika salah satu orang tuanya mengalami obesitas, maka kemungkinan anak menjadi obesitas sekitar 40-45 persen. Lalu jika kedua orang tuanya obesitas, maka kemungkinan anaknya menjadi obesitas 60 persen.

“Tetapi jarang sekali anak obesitas sekarang ini adalah karena faktor keturunan. Tapi karena persoalan pola makan,” jelasnya.

Ia kembali menekankan bahwa persoalan status gizi berkaitan dengan konsumsi. Semakin banyak input dan output-nya rendah, maka berat badan akan bertambah.

“Secara akumulatif, jika hal itu dibiarkan, terutama dalam konsumsi gula dan minyak, maka akan menjadi obesitas,” tegasnya.

Untuk mengatasi masalah obesitas ini, masalah informasi, komunikasi dan edukasi menjadi hal yang penting. Sebab ia menyebut obesitas sebenarnya bisa diprediksi.

“Contohnya, anak yang tidak diberikan ASI eksklusif, dia akan cenderung obesitas. Maka memberikan ASI sampai enam bulan itu penting sekali. Kemudian MPASI, gizinya harus seimbang. Terutama protein hewani, karena itu dibutuhkan. Ketika anak usia 6-24 bulan dan konsumsi protein rendah, maka akan cenderung obesitas,” jabarnya.

Bagaimana dengan persoalan keluarga yang miskin? Menurut Andriyanto, pemberian makanan tambahan yang kaya protein kepada anak usia 6-23 bulan menjadi penting.

Seorang anak yang mengalami obesitas, tidak serta merta harus mengurangi makan. Ada pendekatan tekniksuntuk mengatasinya.

Contohnya, seorang anak yang obesitas cenderung haus dan menyukai makanan dan minuman yang manis. Sehingga ketika anak ini haus, maka memberi air dingin cari cara lebih baik daripada memberi minuman yang manis.

Kemudian, anak obesitas lebih suka karbohidrat daripada sayuran dan buah-buahan. Namun buah harus diberikan karena serat bagus untuk menyerap kolesterol dalam darah dan mengurangi berat badan anak.

“Maka, upaya mitigasi atau pencegahan itu harus lebih masif. Di lingkungan sekolah, seorang guru harus dibekali bahaya obesitas pada seorang anak. Sebab anak obesitas itu kecenderungan kognitifnya lebih rendah daripada anak normal,” jabarnya. (saf/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
33o
Kurs