Jumat, 22 November 2024

Polling Suara Surabaya: Masyarakat Beri Respons Beragam Atas Pelaksanaan Pemilu 2024

Laporan oleh Muhammad Syafaruddin
Bagikan
Hasil Wawasan Polling Suara Surabaya Media terkait apakah Anda puas dengan penyelenggaraan Pemilu 2024? Foto: Bima magang suarasurabaya.net

Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI menetapkan pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka meraih suara terbanyak dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.

Penetapan tersebut dilaksanakan pada Rabu (20/3/2024) malam di kantor KPU RI di Jakarta.

Dalam pengumuman tersebut dijabarkan, jumlah suara sah secara nasional lebih dari 164 juta. Pasangan Anies Baswedan/Muhaimin Iskandar meraih 40 juta lebih suara atau 24,95 persen.

Kemudian pasangan Prabowo-Gibran mendapatkan lebih dari 96 juta suara atau 58,59 persen. Lalu pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD meraih lebih dari 27 juta suara atau 16,47 persen.

Selain menyampaikan hasil pemilihan presiden dan wakil presiden, KPU RI juga menyampaikan hasil perolehan suara anggota DPR/DPD/DPRD Provinsi dan DPRD Kota secara nasional.

Selanjutnya, jika ada sengketa atas hasil Pemilu maka menunggu hasil putusan final Mahkamah Konstitusi (MK) dan tiga hari kemudian baru dilakukan penetapan.

Lantas, apakah Anda puas dengan penyelenggaraan Pemilu tahun ini?

Dalam diskusi di program Wawasan Polling Suara Surabaya pada Kamis (21/3/2024) pagi, masyarakat memberi respons beragam atas pelaksanaan Pemilu 2024.

Dari data Gatekeeper Radio Suara Surabaya, dari total 69 pendengar yang berpartisipasi, 29 di antaranya (42 persen) mengaku puas. Kemudian 40 lainnya (58 persen) menyatakan tidak puas.

Sementara dari data di Instagram @suarasurabayamedia, sebanyak 412 votes (62 persen) puas. Sedangkan 257 lainnya (38 persen) tidak setuju.

Menyikapi hasil Pemilu tahun ini, Titi Anggraeni Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengatakan bahwa Pemilu 2024 sebagai yang terburuk sejak era Reformasi

“Saya mengikuti Pemilu sejak 1999. Seharusnya dari setiap pemilu, kualitas teknis dan prosedurnya makin baik. Tapi kalau boleh saya bilang ini adalah Pemilu yang konsep penyelenggaraan teknis tahapannya paling buruk selama era reformasi,” ujar Titi ketika on air di Radio Suara Surabaya.

Titi menyinggung terkait permasalahan kepastian hukum. Contohnya KPU mendapatkan sanksi berupa peringatan keras dari Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) terkait proses pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden.

Titi menambahkan, KPU yang seharusnya mengatur keterwakilan perempuan, menyimpangi ketentuan undang-undang di mana daftar calon kalon harus memuat keterwakilan perempuan, paling sedikit 30 persen. Namun menurut Titi, hal itu tidak dilaksanakan.

Selain itu, lanjut Titi, KPU juga mendapat peringatan keras karena tidak mengikuti putusan pengadilan tentang usaha negara. Ini belum termasuk problem di dalam rekapitulasi suara.

“Sampai-sampai kemudian kita semua menanti-nanti apakah bisa selesai tanggal 20 Maret atau tidak. Jadi indikatornya bisa kita lihat dari kepatuhan hukum, profesionalisme penyelenggaraan tahapan, dan termasuk juga dari sisi aspek etis. Banyak sekali kontroversinya,” terang Titi.

Padahal, menurut Titi, insentif dari KPU sekarang sangat banyak regulasinya. Mulai undang-undang Pemilu yang tidak berubah. Kemudian anggaran yang dinaikkan menjadi tiga kali lipat. Serta fasilitas dari pemerintah yang begitu luar biasa.

“Tetapi hal-hal yang menjadi permasalahan pada Pemilu 2019 tetap berulang. Bahkan dalam beberapa hal, itu jauh lebih buruk. Termasuk juga petugas yang meninggal dunia itu masih menjadi persoalan dan belum sepenuhnya bisa diantisipasi,” terangnya.

Meski demikian, masyarakat harus menerima hasil Pemilu. Dia menyebut inilah gambaran demokrasi prosedural Indonesia hari ini. “Seharusnya secara prosedur makin baik. Tapi kemudian justru secara prosedur malah makin menjadi tantangan,” ujarnya.

Oleh karena itu, Titi mendorong agar UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) diubah. UU inilah yang menjadi pijakan hukum dalam Pemilu tahun ini.

Karena UU itu tak diubah, akhirnya para pihak berbondong-bondong ke Mahkamah Konstitusi. Sehingga saat proses berjalan, ada keputusan yang mengubah aturan lain.

“Dari sisi keadilan kompetisi, itu sebenarnya kurang compatible atau kurang memberikan kepastian hukum,” jabarnya.

Titi juga mencermati pernyataan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI yang sarankan pembagian bansos disetop jelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024.

“Pertanyaannya, KPK ke mana saja selama Pemilu 2024? Kenapa saat ramai-ramai distribusi bansos, seruan itu tidak ada. Tapi giliran Pilkada, KPK minta agar bansos tidak didistribusikan pada tiga bulan sebelum tahapan Pilkada dimulai,” sebutnya.

Titi menegaskan bahwa dia tidak mendelegitimasi Pemilu. Sebaliknya, dia ingin Pemilu bukan sekadar regularitas, melainkan betul-betul mencerminkan proses yang baik. Serta keadilan kompetisi bagi semua pihak

“Sehingga kemudian semua mendapatkan hasil yang memberikan kesetaraan dan keadilan perlakuan bagi semua peserta Pemilu,” jelasnya.

Titi juga menegaksan bahwa Pilkada 2024 harus belajar dari pelaksanaan Pemilu 2024. Jangan sampai segala masalah yang ada di Pemilu, terulang dan diduplikasi di Pilkada.

“Kita harus akui ada politisasi bansos (bantuan sosial). Saya juga menemukan memang ada politisasi perangkat desa dan itu tidak mendapatkan penyelesaian dengan baik,” ucapnya.

Sedangkan di Pilkada nanti, lanjut Titi, salah satu potensi pelanggaran tertinggi itu adalah politisasi aparatur sipil negara dan kepala desa. Hal itu tercermin dari Pilkada 2018 dan 2020.

“Oleh karena itu, pada Pilkada 2024 yang akan berlangsung serentak, 37 pemilihan gubernur dan 508 pemilihan bupati/wali kota, serta dengan tren pelanggaran yang tingginya politisasi birokrasi, lalu politisasi perangkat desa, potensi konflik juga menjadi lebih besar. Sebab ruang lingkup kompetisi Pilkada itu lebih kecil. Benturan antarmassa lebih mungkin terjadi,” jabarnya.

Titi menginginkan jangan sampai hal ini dinormalisasi dan kemudian terbiarkan menjadi lebih buruk di Pilkada 2024.

Pilkada 2024, yang akan berlangsung di 38 provinsi dan 508 kota dan kabupaten, akan menjadi ujian bagi kredibilitas dan integritas penyelenggara Pemilu untuk tidak rentan kepada upaya-upaya yang mengganggu independensinya.

“Karena dalam pencalonan Pilkada kan kepentingannya besar sekali. Karena menyangkut mendapatkan tiket. Di situ ada ruang-ruang yang digunakan secara ilegal untuk memengaruhi penyelenggara Pemilu demi memuluskan pencalonan mereka,” jabarnya.

Selain itu, dia juga menyebut tentang antisipasi potensi meningkatnya calon tunggal. Sebab partai politik belum sepenuhnya pulih dari Pemilu legislatif.

Ketika kelembagaan mereka belum sepenuhnya siap, menurut Titi, di sana kemudian muncul godaan untuk melakukan praktik transaksional.

“Misalnya untuk memulihkan kondisi internal partai, kondisi keuangan partai, sehingga tak mengusung calon. Apalagi potensi kemenangannya tidak besar. Mereka pilih atau dukung calon yang lebih populer dan punya modal besar,” terangnya.

Titi menyebut, pada Pilkada 2015 ada tiga daerah, 2017 ada sembilan, 2018 ada 16, dan Pilkada 2020 ada 25 daerah yang memiliki calon tunggal.

“Jadi kalau pragmatisme partai itu dominan, dikhawatirkan pada Pilkada 2024 justru meningkatkan calon tunggal dan itu merugikan pemilih. Sebab pemilih akhirnya tidak punya banyak pilihan,” terang Titi. (saf/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
29o
Kurs