Sabtu, 23 November 2024

MK Tolak Gugatan Pasal Soal Sanksi Pembekuan Parpol

Laporan oleh Billy Patoppoi
Bagikan
Suhartoyo Ketua Mahkamah Konstitusi (MK). Foto: Instagram @mahkamahkonstitusi Suhartoyo Ketua Mahkamah Konstitusi (MK). Foto: Instagram @mahkamahkonstitusi

Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan tidak dapat menerima gugatan terkait pasal yang mengatur sanksi pembekuan terhadap partai politik, yang diajukan oleh seorang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Internasional Batam (UIB).

“Menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima,” kata Suhartoyo Ketua MK ketika membacakan amar putusan perkara dengan nomor 15/PUU-XXII/2024, dalam Sidang Pleno yang dilaporkan Antara, Rabu (20/3/2024).

Dalam petitumnya, pemohon yang bernama Teja Maulana Hakim meminta agar MK menyatakan Pasal 48 ayat 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Sedangkan untuk Pasal 48 ayat 3 Tahun 2008 tentang Partai Politik, pemohon meminta MK agar menyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai “Partai Politik yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) dibubarkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi.”

Adapun, Pasal 48 ayat 2 menyatakan bahwa partai politik diberikan sanksi administratif berupa pembekuan paling lama satu tahun apabila melanggar hal yang dimaksud dalam Pasal 40 ayat 2.

Kemudian, Pasal 48 ayat 3 menyatakan bahwa partai politik yang telah dibekukan sementara seperti yang dimaksud dalam ayat 2 dan melakukan pelanggaran lagi terhadap ketentuan dalam Pasal 40 ayat 2, dibubarkan dengan putusan MK.

Sementara, pasal 40 ayat 2 yang dimaksud dalam kedua ayat itu, menyatakan bahwa partai politik dilarang melakukan kegiatan yang bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan peraturan perundang-undangan serta melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan dan keselamatan NKRI.

Pemohon merasa sanksi pembekuan bagi partai politik yang telah melanggar Pasal 40 ayat 2 sebagai hal yang tidak masuk akal. Selain itu, pemohon juga menilai partai korupsi yang menyelenggarakan negara untuk mengatur seluruh Warga Negara Indonesia harus dibubarkan.

“Seandainya partai korup telah melanggar ketentuan tersebut yang mengakibatkan disintegrasi negara, apakah pembekuan layak dijatuhi kepada partai politik? Apakah setimpal dengan akibat (potensi: disintegrasi negara)?” ucap pemohon dalam permohonannya.

Atas gugatan tersebut, Enny Nurbaningsih Hakim Konstitusi menyampaikan beberapa pertimbangan hukum, salah satunya adalah MK menilai status pemohon sebagai mahasiswa Fakultas Hukum tidak cukup meyakinkan adanya kerugian hak konstitusional yang bersifat spesifik, khusus, dan aktual atau setidak-tidaknya berpotensi terjadi.

“Menurut Mahkamah, pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai pemohon dalam permohonan a quo,” kata Enny.

Dengan demikian, amar putusan majelis hakim pun menyatakan bahwa permohonan pemohon tidak dapat diterima.

Pada akhir persidangan, disebutkan bahwa Hakim Konstitusi Suhartoyo, Saldi Isra, dan Arsul Sani memiliki pendapat berbeda atau dissenting opinion atas putusan tersebut. Ketiganya berpendapat bahwa pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai pemohon dalam permohonan a quo dan oleh karena itu, MK seharusnya mempertimbangkan pokok permohonan. (ant/sya/bil/faz)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
27o
Kurs