Jumat, 22 November 2024

Sosiolog Unair Sebut Penurunan Angka Pernikahan Menjadi Fenomena Global

Laporan oleh Muhammad Syafaruddin
Bagikan
Ilustrasi pernikahan. Foto: Getty Images

Tren keengganan untuk menikah di kalangan anak muda tidak hanya terjadi di negara barat atau negara maju saja. Indonesia disebut mulai mengalami ini.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) melalui publikasi Statistik Indonesia 2024 menunjukkan, jumlah pernikahan di Indonesia turun dari tahun ke tahun sejak sepuluh tahun lalu.

Pada 2013, Indonesia sempat mencapai angka pernikahan yang tinggi. Kala itu jumlah yang dicatat pemerintah mencapai 2,21 juta pernikahan.

Tapi lambat laun angkanya terus menurun. Pada 2016 jumlah pernikahan turun jadi 1,83 juta, merosot 120 ribu dibanding tahun sebelumnya.

Sempat naik 2 juta pada 2018, tapi pada 2020 terjun menjadi 1,79 juta. Lalu 2022 turun lagi jadi 1,7 juta, dan akhirnya jadi 1,57 juta pada 2023.

Di samping angka pernikahan turun, angka perceraian justru naikDirjen Badan Peradilan Agama dan Mahkamah Agung mencatat, di 2013 ada sekitar 324 ribu perceraian.

Pada 2022, saat angka pernikahan turun lagi, perceraian naik sampai 516 ribu. Lalu pada 2023 turun sedikit jadi 463 ribu. Penyebab perceraian didominasi perselisihan.

Terkait fenomena ini, Prof. Bagong Suyanto Sosiolog Universitas Airlangga (Unair) menjelaskan bahwa hal ini telah menjadi fenomena global.

Fenomena ini, menurut Bagong, tidak hanya terjadi di Indonesia saja, melainkan di berbagai negara di seluruh dunia.

Dari kacamata sosiologi, Bagong mengatakan bahwa perempuan tidak lagi terpaku oleh budaya yang menyebut jika mereka menunda pernikahan itu dianggap sebagai perawan tua.

“Jadi pandangan itu pelan-pelan mulai terkikis. Sekarang banyak perempuan yang dalam hidupnya itu punya pilihan-pilihan lain di luar berkeluarga. Mereka memilih kuliah, mereka memilih bekerja, mereka memilih untuk menikmati hidup terlebih dahulu dan pandangan seperti itu makin lama makin meluas,” kata Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unair dalam program Wawasan Radio Suara Surabaya, Rabu (20/3/2024).

Pada dua dekade lalu, lanjut Bagong, para mahasiswinya mematok target menikah pada usia 22-23 tahun. Kini, saat ditanya, mahasiswi mulai menjawab usia 27 tahun, atau bahkan di atas 30 tahun.

“Memang ada kesadaran baru, terutama di kalangan perempuan terdidik untuk menunda angka pernikahannya,” imbuh pria kelahiran Kertosono, Nganjuk tersebut.

Bagong menambahkan, fenomena keengganan menikah ini memang akan membuat angka pertumbuhan penduduk menurun. Namun ia memandang hal ini bukan kecenderungan yang harus dirisaukan.

“Kalau untuk negara yang penduduknya tidak banyak, memang fenomena ini masalah. Namun untuk Indonesia yang merupakan negara dengan jumlah penduduk terbesar nomor empat di dunia, hal itu tidak masalah,” jelasnya.

Menurut Bagong, keengganan menikah tidak hanya dari faktor perempuan saja. Ada pula dari faktor laki-laki. Laki-laki yang siap menikah bukan sekadar lulus kuliah. Lebih dari itu, ada faktor lain yang berpengaruh. Salah satunya faktor ekonomi.

“Jadi di kalangan anak muda itu, sekarang tidak lagi bangga kalau segala sesuatunya disediakan oleh orang tuanya. Mereka ingin membuktikan bisa hidup mandiri. Dan itu membutuhkan penghasilan yang besar. Makanya laki-laki pun merasa tidak siap kalau menikah dalam usia yang terlalu muda,” jelasnya.

Selain faktor perempuan dan laki-laki di atas, ada faktor lain seperti adanya krisis kepercayaan pada lembaga pernikahan. Atau anak-anak yang lahir dari keluarga yang broken home.

Mereka cenderung menunda karena tidak melihat keluarga sebagai jawaban dari kebahagiaan hidup. Apalagi angka perceraian juga meningkat

“Itu juga menjadi contoh kasus yang buruk bagi anak-anak. Mereka tidak lagi melihat pernikahan itu seperti digambarkan dalam film-film atau novel,” sebutnya.

Fenomena penurunan angka pernikahan ini, lanjut Bagong, menjadi sinyal semakin menguatnya sikap rasional anak muda sekarang. Mereka lebih realistis.

“Anak muda tidak mau terjebak dalam relasi yang toxic. Jadi mereka juga tidak merasa masalah kalau single,” terangnya.

Tentang fenomena angka pernikahan yang turun dan tingginya angka pernikahan, Bagong melihat hal ini sebagai fenomena meningkatnya kesadaran perempuan akan hak-hak mereka.

Bahwa perempuan dewasa ini jika diperlakukan semena-mena oleh pasangan, mereka akan cenderung bereaksi. Bahkan tidak segan untuk menuntut cerai.

Terlepas dari penurunan angka pernikahan itu, Bagong menegaskan bahwa hidup bersama tanpa ikatan pernikahan bukan sebuah solusi.

“Para perempuan harus menyadari dalam konteks relasi seperti itu yang menjadi korban pertama dan kemungkinan menderita adalah pihak perempuan,” ucapnya.

Lantas bagaimana sikap orang tua atas fenomena hal ini? Menurut Bagong tantangan terbesar adalah mengubah mindset yang disebutnya masih terkontamisasi budaya lama.

Bahwa pada saat ini para anak muda, terutama perempuan, menikah di atas usia 30 tahun adalah hal yang biasa. Mereka ingin sudah settle dulu, baik secara psikologis maupun finansial.

“Kalau orang tua tidak bisa membantu dan memaksa anaknya menikah dalam usia yang relatif muda di mana mereka belum siap, itu kan sumber pertengkaran. Jadi orang tua harus mengubah mindset, dan tidak perlu malu kalau anaknya terlambat menikah. Itu tantangan bagi para orang tua,” ujarnya. (saf/iss)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
33o
Kurs