Jumat, 22 November 2024

Usulan 3 Ibu Kota Banyak Diperdebatkan Pendengar SS, Anggota Baleg DPR Beri Penjelasan

Laporan oleh Billy Patoppoi
Bagikan
Hermanto Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI. Foto: Istimewa

Dalam program Wawasan Suara Surabaya Senin (18/3/2024), yang membahas soal usulan ibu kota ada tiga masing-masing untuk eksekutif, legislatif, dan yudikatif, banyak pendengar yang menyatakan tidak setuju.

Alasannya bermacam-macam. Ada yang menganggap usulan tersebut jika direalisasikan dapat memecah belah politik dan mengacaukan jalannya pemerintah. Ada juga pendengar yang menyebut lembaga legislatif dalam hal ini DPR, DPD, dan MPR akan semakin sulit dalam melakukan pengawasan terhadap lembaga eksekutif, yakni pemerintah.

Selain itu ada Ekawestri Prajwaliata Widiati, Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum (FH) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya yang ikut berpendapat bahwa ibu kota bukan sekadar wilayah yang punya keistimewaan, melainkan punya amanah dalam membentuk suatu pemerintahan yang efektif.

Sehingga, dalam menjalankan roda pemerintahan, eksistensi ibu kota akan menjadi ruang berputar segala aktivitas pemerintahan utama. Berkenaan dengan bekerjanya fungsi-fungsi negara yang di dalamnya melibatkan baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Menanggapi respons masyarakat ini, Hermanto anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang pertama kali mengungkapkan usulan tersebut memberikan penjelasannnya.

Menurutnya, usulan darinya itu bertujuan supaya Indonesia bisa mencoba untuk mengklasterkan ibu kota negara dengan memecah menjadi tiga, berdasarkan fungsi dasar negara, yakni rumpun eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

“Saya mencoba untuk mengelaborasi dan mengartikulasikan ke dalam bentuk sistem perkotaan negara. Oleh karena itu, saya mencoba untuk menyampaikan kenapa kita tidak mengklasterkan ibu kota negara menjadi tiga berdasarkan fungsi-fungsi negara itu. Dengan demikian ada gagasan ibu kota negara ada tiga,” ujarnya saat mengudara di Radio Suara Surabaya, Senin siang.

Berdasarkan klaster tersebut, tambah Hermanto, Ibu Kota Negara (IKN) dapat menjalankan rumpun eksekutif. Sedangkan, Jakarta dapat menjadi ibu kota negara legislatif atau ibukota negara parlemen.

“Kenapa disebut begitu? Karena pertama sebagai dasar fungsi negara itu sendiri. Kedua, karena sarana dan prasarana kompleks senayan itu sangat memadai untuk digunakan sebagai rapat rapat parlemen. Dengan demikian tidak perlu lagi membangun komplek baru sehingga anggaran sebesar itu kita alokasikan untuk pembangunan sektor ekonomi kerakyatan,” jelasnya.

Dirinya menilai tiga fungsi negara tersebut bisa diwujudkan sebagai bentuk komprehensif sebuah negara, yang kaitannya dengan penduduk di Pulau Jawa, Sumatera, dan lain sebagainya, dapat secara efektif menyampaikan pandangan atau aspirasinya melalui Jakarta.

“Kalau saya lihat dari prinsip keadilan, pemerataan, efektifitas, efesiensi, dan kebermanfaatan, andaikan semua fungsi parlemen itu bangunannya pindah ke IKN kan sayang. Kompleks Senayan itu ditinggalkan tidak berfungsi secara optimal,” tuturnya.

Selain itu, Hermanto menyebut bahwa Jakarta memiliki nilai historis yang cukup panjang sebagai ibu kota proklamator, tempat saat pertama kali proklamasi Indonesia digaungkan.

Hermanto menegaskan rekomendasi tiga ibu kota tersebut masih sekadar usulan. Meski demikian, dia akan tetap memperjuangkan usulannya tersebut, walaupun jika nantinya gagasan itu ditolak.

“Ya namanya demokrasi, (ada) pro kontra wajar saja karena kita ini (negara) konsepnya demokrasi yang harus kita mendengar semua pihak dan pendapat masyarakat tidak tunggal,” tutupnya. (azw/bil/ham)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
28o
Kurs