Berbicara tentang Surabaya, maka ada satu kata penting dan tidak boleh dilewatkan, yaitu “multikultur”. Surabaya telah lama menjadi rumah bagi banyak etnis. Sejarah panjang ini dirangkum dalam sebuah film dokumenter pendek karya Fadhli Zaky dalam “Empat Wajah Surabaya” yang berdurasi 45 menit.
Empat Wajah Surabaya, sesuai namanya berusaha menangkap realitas keberagaman serta persatuan dari keturunan empat etnis besar di Surabaya yaitu Jawa, Tionghoa, Madura, dan Arab. Empat etnis ini dipilih sebagai medium untuk menyampaikan pesan keberagaman dan persatuan yang telah lama menjadi ciri khas Kota Pahlawan ini.
Empat Wajah Surabaya mengambil beberapa sudut kota yaitu: kompleks Sunan Ampel yang mewakili Etnis Arab, Kampung Tambak Bayan dan Kampung Dukuh yang mewakili etnis Tionghoa, Kompleks Pasar Pabean yang mewakili etnis Madura, dan Taman Seni THR yang mewakili etnis Jawa.
Sampul film Empat Wajah Surabaya. Foto: Purnama suarasurabaya.net
Pada bagian awal film, masing-masing etnis dengan latar belakang kebudayaan masing-masing ditunjukkan satu per satu. Selama sesi wawancara, sutradara memanjakan penonton dengan visual dan audio yang ngepop tentang keragaman di daerah tersebut. Bentuk audio visual seperti ini diakui sebagai cara untuk menunjukkan suatu isu berat dengan cara seringan mungkin.
Setiap tokoh berada dan berbicara pada alur yang hampir seragam, yaitu perkenalan tentang kebudayaan dan lingkungannya, persinggungannya dengan etnis lain, dan ujungnya pada argumen tentang toleransi dan persatuan yang telah menjadi jiwa Surabaya sejak lama.
Beberapa hal menarik, misalnya pada sesi wawancara di daerah komplek Sunan Ampel, narasumber menunjukkan bahwa baju Takwa atau baju Koko adalah baju dengan budaya asli Tionghoa yang kemudian diadaptasi oleh bangsa Melayu dan dipakai oleh orang Islam.
Suasana acara pemutaran film kolaborasi Kolaborasik dan SUR:VIBE di Gedung Suara Surabaya, Sabtu (4/8/2018). Foto: Ika suarasurabaya.net
Selain itu, seorang narasumber di Kampung Tambak Bayan mengatakan bahwa banyak orang Tionghoa disana yang menikah dengan orang jawa maupun madura, bahkan dia sendiri adalah dilahirkan dari pasangan ayah Tionghoa dan Ibu Jawa.
Hal-hal ini menjadi kekuatan film untuk menunjukkan keberagaman dan toleransi yang dibangun oleh sutradara.
Sejumlah narasumber lain, mulai dari akademisi, pelaku sejarah, dan tokoh lain juga dimunculkan untuk menguatkan pesan toleransi dan keberagaman ini.
Film kemudian menunjukkan ilustrasi berupa seorang anak kecil yang memegang bendera Indonesia sedang bermain-main dan bertemu dengan barongsai. Si anak kecil dan barongsai kemudian berteman.
Fadhli Zaki adalah seorang mahasiswa DKV Universitas Pembangunan Nasional Surabaya. Film ini merupakan bagian dari karya tugas akhir yang menjadi persyaratan kelulusan di kampusnya.
Dalam diskusi dan pemutaran film yang diadakan Kolaborasik bekerjasama dengan SUR:VIBE di Gedung Suara Surabaya, Sabtu (4/8/2018), Fadhli mengatakan bahwa film ini dikerjakan selama satu tahun. Ia juga mengaku sedang mengembangkan film ini lebih jauh agar dapat memberikan sebuah sajian tontonan yang lebih lengkap dengan keberagaman di Surabaya. (bas/iss)