Tumini menangis. Air matanya jatuh. Jarinya memegang erat sebuah pigura besar yang tersemat foto anaknya, almarhum Rendy Dwi Hermawan. Mulutnya tak berhenti memanjatkan doa. Ia mengenang anak lelakinya yang telah berpulang.
“Semoga kamu tenang di sana ya, Nak. Kita sudah mewujudkan semua cita-citamu untuk kamu ingin wisuda. Walaupun di sini kami dengan tetes air mata. Tapi ini air mata kebahagiaan. Bahagia di sana ya, kamu sudah diwisuda,” ucapnya tersedu-sedu.
Suasana duka dan haru menyelimuti prosesi wisuda ke-128 Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya pada Sabtu (2/3/2024). Tumini datang menggantikan Rendy yang telah meninggal dunia pada 29 Oktober 2023 lalu.
Rendy merupakan mahasiswa Untag. Semasa kuliahnya ia mengenyam program pendidikan Teknik Informatika. Ia juga telah menuntaskan tugas akhirnya. Tetapi, di penghujung masa kuliahnya, Rendy meninggal dunia. Sehingga tak bisa mengikuti prosesi wisuda.
“Kita semua tetap datang ke sini. Meskipun ini sangat berat langkah kaki kami untuk ikut wisuda ini. Tapi ini yang terbaik, semoga tenang di sana, karena cita-citanya sudah kami wujudkan,” imbuhnya.
Puncak pecahnya suasana terjadi ketika Tumini mendapat panggilan maju ke panggung untuk menerima ijazah milik Rendy. Ribuan wisudawan, dosen dan orang tua wali yang duduk berjejer terpaku menyaksikan prosesi tersebut. Tidak sedikit dari mereka ikut merapalkan doa.
Tumini masih tidak menyangka, anak lelaki satu-satunya itu telah mendahuluinya. Ia mengaku, Rendy tidak memiliki riwayat penyakit apa pun. Tetapi, ketika anaknya mengelu sakit dan harus opname di rumah sakit, dokter memvonisnya gagal ginjal.
Tidak ada pesan khusus apapun yang ditinggalkan oleh Rendy sebelum meninggal dunia. Tumini mengaku, sebelum dilarikan ke Intensive Care Unit (ICU), ia hanya mengucapkan satu keinginan, yaitu wisuda.
“Aku anterin wisuda, aku anterin wisuda,” kata Tumini menirukan ucapan mendiang anaknya. Wajahnya berlumur air mata.
Ia menceritakan, semasa hidupnya Rendy ingin menjadi programer. Bahkan sejak masih duduk di bangku SMA, pria asal Mojokerto itu sering ikut lomba, seminar, dan bergabung dengan sebuah komunitas programer.
“Bahkan setiap minggu ia mementingkan program seminarnya itu tadi,” katanya.
Pagi itu, Surabaya baru saja diguyur hujan. Sisa mendung masih tertinggal di sela-sela langit. Hari penuh duka dan haru yang berisikan doa. Tumini berharap, anaknya bisa tersenyum di sana.
“Ini bukan air mata ibu yang sedih. Tidak. Ibu bangga,” ucapnya.
Di akhir kata saat diwawancara awak media, Tumini berterima kasih kepada segenap civitas academica yang telah membimbing Rendy. Ia juga menghaturkan permohonan maaf untuk anaknya itu.
“Selama ini kalau punya salah sama kampus Untag ini, sama dosen-dosen. Kami mohon maaf sebesar-besarnya,” pungkasnya.(ris/saf/ipg)