Dokter syaraf menyebut penyakit hipertensi dapat merusak organ tubuh dan syaraf selama bertahun-tahun sebelum ditemukan adanya gejala lebih lanjut.
“Tanpa disadari, hipertensi bisa merusak organ selama bertahun-tahun sebelum ada gejala. Apabila tidak diobati, hipertensi dapat menyebabkan disabilitas,” kata Eka Harmeiwaty dokter spesialis syaraf seperti dilansir Antara pada Jumat (23/2/2024).
Dokter yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia (InaSH) itu menuturkan, kondisi hipertensi yang tidak tertangani menyebabkan menurunnya kualitas organ-organ tubuh, sehingga kualitas hidup pasien memburuk.
Penderita hipertensi yang sudah sangat kompleks dapat terkena gangguan kognitif hingga demensia. Penyebabnya yakni kerusakan endotel pada pembuluh darah akibat berkurangnya aliran darah sehingga suplai oksigen dan nutrien tidak cukup dan menurunkan neurotransmiter yang menyebabkan kerusakan sel neuron.
Selain itu, hipertensi juga mampu menyebabkan kematian karena kerusakan organ target seperti otak, jantung dan ginjal.
“Pasien yang pernah mengalami stroke berisiko menjadi demensia yang dikenal dengan demensia vaskular. Selain berdampak langsung pada susunan syaraf, hipertensi juga bisa terjadi akibat komplikasi hipertensi pada organ lain yang terjadi lebih dulu seperti atrial fibrilasi, infark miokard dan gagal jantung,” ujarnya.
Sementara terkait dengan dampaknya terhadap kerusakan susunan syaraf, dokter yang bekerja di Rumah Sakit Harapan Kita itu menjelaskan hipertensi dapat menyebabkan Transient Ischemic Attack (TIA) atau stroke minor yang terjadi karena terganggunya aliran darah ke otak dalam waktu singkat akibat adanya penyumbatan di pembuluh darah.
“Menurut berbagai penelitian hipertensi ditemukan pada 60-70 persen kasus stroke. Hipertensi akan menyebabkan kerusakan endotel dinding pembuluh darah arteri yang akan menginisasi proses atherosklerosis,” jelasnya.
Dinding pembuluh darah, lanjut Eka, akan rusak dan mempermudah partikel untuk saling menempel dan membentuk plak yang terkadang bersifat tidak stabil dan sewaktu-waktu bisa lepas menuju distal, sampai akhirnya menyumbat pembuluh darah yang berujung terjadinya penyempitan lumen pembuluh darah.
“Kedua kondisi ini akan menyebabkan aliran darah ke otak terganggu dan terjadilah stroke iskemik. Selain menyebabkan penyumbatan aliran darah, hipertensi juga menyebabkan terjadinya pendarahan di otak, lipohialonosis pembuluh darah arteri berukuran kecil, sehingga menipis dan pecah,” ucapnya.
Oleh karena itu, Eka menyarankan sebagai bentuk upaya preventif terhadap kerusakan syaraf, bagi masyarakat yang memiliki hipertensi untuk menurunkan tekanan darah sesuai target yang telah ditentukan serta mengontrol variasi kenaikan tekanan darah dalam waktu 24 jam, terutama di pagi hari dengan melakukan intervensi gaya hidup dan medikamentosa.
Kemudian bila terjadi stroke, harus segera dibawa ke rumah sakit yang memiliki fasilitas memadai. Sebab, pada kasus stroke iskemik akan dilakukan trombolisis intravena (IVT) dalam kurun waktu empat jam tiga puluh menit setelah waktu emas penanganannya.
Sementara itu, pada kasus pendarahan kecil perlu dilakukan tindakan konservatif dan untuk pendarahan yang luas dibutuhkan tindakan operasi untuk mengevakuasi pendarahan. Eka menyatakan jika dibutuhkan, pasien bisa saja dipasang drainage (VP shunt).
“Bagi pasien hipertensi yang mengalami gangguan kognitif dan demensia harus mendapat terapi khusus termasuk berbagai latihan dengan tujuan memperlambat penurunan fungsi dan memperbaiki kualitas hidupnya,” tutupnya. (ant/ike)