Indonesia menempati peringkat pertama sebagai negara yang menghabiskan waktu terlama dalam menggunakan perangkat digital setiap harinya. Berdasarkan laporan dari Data AI yang dirilis State of Mobile 2024, masyarakat Indonesia menghabiskan waktu rata-rata 6,5 jam setiap hari dalam menggunakan gadget.
Pratama Dahlian Persadha, pakar Cyber Security dari Lembaga Riset Siber Indonesia, Communication and Information System Security Research Center (CISSReC) mengatakan, hal tersebut linear dengan perkembangan perangkat smartphone yang ada di Indonesia. Ada sekitar 350 juta handphone dari 273,8 juta dari total jumlah penduduk Indonesia. Selain itu, 217 juta atau setara dengan 76 persen masyarakat Indonesia sudah terkoneksi ke internet.
“Kalau kita lihat perkembangan teknologi yang ada di Indonesia, kemudian perkembangan masyarakat kita, mereka menggunakan internet ini sebagai sumber utama untuk mendapatkan informasi sehingga mereka jarang mendengarkan radio, menonton TV, membaca koran, dan lain-lain,” kata Pratama dalam program Wawasan di Radio Suara Surabaya pada Rabu (21/2/2024).
Pratama mengatakan, smartphone memberikan kesenangan dan kemudahan bagi penggunanya sehingga mereka tidak henti-henti menggunakan perangkat tersebut. Hal ini berdampak sosial pada hubungan antar manusia menjadi kurang bagus.
“Coba sekarang lihat anak-anak kita kalau menonton TikTok, scroll-scroll terus tiba-tiba 3 jam hanya untuk scroll-scroll saja. Kemudian yang suka nonton YouTube, apalagi saat ini content creator juga semakin kreatif. Nah, akhirnya masyarakat kita lebih banyak menghabiskan hidupnya di dunia maya,” ujarnya.
Pratama mengakui, apa yang ditawarkan smartphone sangat luar biasa menggoda. Sementara itu, teknologi saat ini dengan algoritmanya mampu memandu user kepada hal-hal yang disukai melalui rekomendasi pribadi. Namun, ia juga mencatat bahwa hal ini dimanfaatkan oleh platform-platform tersebut untuk keuntungan mereka, seperti contoh platform e-commerce.
“Mereka melakukan profiling terhadap user-nya. Jadi kalau misalkan kita sering melihat sepatu, tas, baju, dan lain-lain kemudian kita keluar dari aplikasi tersebut, nah nanti begitu kita kembali maka mereka akan merekomendasikan barang-barang itu terlebih dahulu,” jelasnya.
Pakar Cyber Security itu mengatakan bahwa fasilitas yang diberikan oleh media sosial itu tidak cuma-cuma, tetapi ada imbalan yang harus dibayar yakni dengan memberikan informasi pribadi kita kepada mereka.
“Itu adalah harga yang harus kita bayar. Sekarang coba kita lihat, kita adalah pengguna media sosial yang cukup besar di dunia ini, kita menggunakan X, Facebook, Instagram, TikTok dan lain-lain. Mereka memberikan berbagai macam fiturnya, fasilitasnya dengan free. Ya, masa iya ada perusahaan yang tiba-tiba memberikan aplikasi gratis, padahal dia investasinya miliaran dolar. Untuk itu kita harus berhati-hati, jangan sampai meng-upload informasi-informasi yang sifatnya pribadi atau confidential,” pungkasnya.
Dengan kondisi itu, ia mengatakan bahwa perusahan-perusahaan media sosial bisa sangat leluasa untuk memprofilng user.
“Karena tidak ada sanksi buat mereka, tidak ada sanksi yang bisa diterapkan dengan keras terhadap pelanggaran peraturan perundangan-perundangan yang ada di Indonesia sehingga mereka cuek-cuek saja. Selain itu mereka sangat mengetahui bahwa masyarakat Indonesia sudah ketergantungan terhadap platform-platform yang mereka berikan. Sehingga mereka leluasa dan mengakibatkan kita ini hampir tidak memiliki kedaulatan cyber,” ucapnya.
Saat ini Indonesia masih belum mempunyai bargaining power yang cukup untuk menghadapi platform-platform tersebut, sehingga harus ada solusi tepat yang dilakukan saat ini.
“Kita harus punya kemandirian secara teknologi. Konsepnya kalau kita mau berdaulat ya harusnya punya kemandirian. Seperti contoh yang lucu sampai saat ini, ada seribu startup yang ditanamkan oleh Jokowi Presiden RI, tapi tidak satupun dari mereka yang berpikir bagaimana membuat kemandirian di media sosial,” ujarnya.
Lebih lanjut, Ia mengatakan bahwa saat ini masyarakat sulit untuk lari dari aplikasi atau platform yang sudah ada, karena ia mengatakan, diakui atau tidak, platform tersebut juga memudahkan masyarakat sebagai pengguna. Namun, penting juga untuk menjaga data privasi agar terlindungi dan tidak menjadi korban kejahatan di internet.
Selain itu, ia juga menegaskan, butuh campur tangan pemerintah untuk kemandirian teknologi di Indonesia agar platform-platform digital itu tidak bisa menjajah ekonomi digital Indonesia dimasa mendatang.(ike/ris/iss)