Satria Unggul Wicaksana Direktur Pusat Studi Anti Korupsi dan Demokrasi Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya buka suara soal pernyataan Jokowi Presiden, yang mengatakan bahwa presiden dan menteri boleh berpihak dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) sepanjang tidak menggunakan fasilitas negara.
Satria mengatakan, apa yang diungkapkan oleh Jokowi menjadi masalah serius bagi Indonesia, yakni bisa membunuh demokrasi.
“Adagium ‘power tends to corrupt absolute power corrupt absolutely‘ ternyata menjadi masalah bagi Jokowi Presiden yang dengan kentara mendukung Prabowo-Gibran. Praktik politik ini menjadikan demokrasi bermasalah,” katanya, Jumat (26/1/2024).
Berkaca dari buku “how democracy die” yang ditulis oleh Levitski dan Zibalt, ia mengatakan bahwa praktik otiritariter politik dan nir-akuntabilitas bisa menjadikan demokrasi Indonesia ke depan mati.
Lebih lanjut, ia juga merujuk pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, khususnya di dalam Pasal 282, yang mana terdapat larangan kepada pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri, serta kepala desa dilarang membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu selama masa kampanye.
“Dalam konteks ini, Jokowi Presiden dan seluruh menterinya jelas adalah pejabat negara. Sehingga ada batasan bagi Presiden dan Pejabat negara lain, termasuk Menteri untuk tidak melakukan tindakan atau membuat keputusan yang menguntungkan peserta pemilu tertentu, apalagi dilakukan di dalam masa kampanye,” jelasnya.
Ia menyebut, Jokowi Presiden adalah simbol kepemimpinan negara, sehingga harus ada netralitas yang dipegang. Supaya, demokrasi tetap hidup dan Indonesia tidak terjebak dalam otoritarianisme.
“Netralitas betul-betul harus dijaga, dan tidak menggunakan instrumen negara seperti bansos, proyek sarat klientelistik, dan konsesi, sehingga kepemimpinan nasional akan tetap terjaga,” pungkasnya. (ris/bil/iss)