Jumat, 22 November 2024

Pakar Kesehatan UM Surabaya Miris Ada Caleg Rela Jual Ginjal, Tegaskan Dampak Buruknya bagi Tubuh

Laporan oleh Risky Pratama
Bagikan
Ilustrasi hari ginjal sedunia. Foto: Pixabay

Firman Dosen Fakultas Ilmu Kesehatan (FIK) Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya mengaku miris dengan aksi donor ginjal yang dilakukan oleh seorang caleg di Kabupaten Bondowoso untuk modal biaya kampanye.

Menurutnya, donor ginjal tanpa indikasi medis sangat berbahaya bagi tubuh manusia

“Dampaknya bukan saja soal masalah kesehatan yang bisa timbul di kemudian hari, tetapi justru akan menimbulkan beban ekonomi keluarga yang tidak murah, sebab seseorang yang hidup dengan satu ginjal, risiko mengalami masalah kesehatan ginjal makin besar,” katanya dalam keterangan yang diterima suarasurabaya.net, pada Sabtu (20/1/2024).

Firman mengatakan, hal itu disebabkan karena ginjal memiliki tanggung jawab besar dan sangat vital bagi tubuh. Beberapa fungsi tersebut diantaranya, membuang racun atau sampah yang tidak dibutuhkan oleh tubuh melalui urin, selain itu menjaga keseimbangan elektrolit dan cairan serta menjaga tekanan darah agar tetap dalam rentan normal.

“Pada umumnya setiap orang memiliki dua buah ginjal, agar keduanya bisa bekerja maksimal untuk menyaring dan membuang zat-zat sisa melalui urine. Namun ketika seseorang hanya memiliki satu ginjal, baik karena rusak atau karena donor, maka beban ginjal tersebut menjadi lebih berat, sehingga risiko mengalami kerusakan ginjal juga lebih besar,” katanya.

Ia menjelaskan, kerusakan pada ginjal atau penyakit gagal ginjal ditandai dengan menurunnya fungsi ginjal, mulai ringan hingga berat atau disebut stadium 1 hingga 5.

Dari laporan Organisasi Kesehatan Ginjal Dunia (International Society of Nephrology) menyebutkan, jumlah kasus penyakit gagal ginjal di seluruh dunia mencapai 850 juta jiwa. Sementara di Indonesia menurut Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2020 ada sebanyak 1.602.059 jiwa mengalami gagal ginjal, kasus rata-rata beusia di atas 20 tahun.

Terapi pengganti ginjal yang paling banyak dilakukan, kata dia, yakni hemodialisis atau cuci darah sebanyak 97 persen, peritoneal dialysis 2 persen, dan transplantasi atau donor ginjal 1 persen.

“Terapi transplantasi atau donor ginjal dulu kurang diminati, namun belakangan ini angkanya terus meningkat. Bahkan beberapa penelitian di dunia menyebutkan bahwa donor ginjal banyak dilakukan oleh masyarakat berpenghasilan rendah, dan donor dilakukan di negara berpendapatan tinggi. Hal ini dikaitkan dengan isu lantaran pendonor mendapat bayaran uang ratusan juta rupiah,” jelasnya.

Lebih lanjut, ia juga mengatakan bahwa alasan lainnya yakni lama rawat yang relatif pendek, yaitu 1 minggu setelah seseorang melakukan donor sudah bisa beraktivitas kembali. Sehingga menurutnya, dua alasan itu menjadikan jual ginjal makin diminati sebagian orang, terutama yang sedang mengalami kesulitan ekonomi.

“Kasus caleg di Bondowoso yang ingin jual ginjal untuk biaya kampanye, nyaris sama seperti alasan di atas, yang tidak boleh dibenarkan. Sebab cara-cara seperti ini bisa ditiru oleh masyarakat tanpa menyadari dampak masalah kesehatan di kemudian hari,” ucapnya.

Firman menegaskan, risiko jangka panjang paling nyata adalah bisa mengalami gagal ginjal stadium akhir. Bahkan menurutnya, diperkirakan rata-rata antara 15 tahun kemudian, secara perlahan setelah melakukan donor ginjal bisa menyebabkan penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) 25 persen hingga 40 persen.

Selain itu, dampak psikologis setelah donor juga bisa terjadi seperti cemas dan khawatir akan masalah kesehatan yang timbul dikemudian hari.

“Untuk itu donor ginjal oleh orang yang masih hidup, tidak boleh sembarangan dilakukan oleh setiap orang, perlu dilakukan pemeriksaan kesehatan secara komprehensif, untuk memastikan apakah seseorang memenuhi syarat sebagai pendonor atau tidak,” pungkasnya.(ris/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
29o
Kurs