Selama kepemimpinan Khofifah Indar Parawansa dan Emil Elestianto Dardak sebagai Gubernur-Wakil Gubernur Jawa Timur (Jatim), persentase penduduk miskin ekstrem tercatat menurun 0,82 persen per Maret 2023.
Menurut data BPS Jatim, angka kemiskinan ekstrem terus menurun sejak 2021 yang mencapai 2,23 persen, lalu Maret 2022 sebesar 1,8 persen, September 2022 turun 1,56 persen, dan Maret 2023 menurun 0,82 persen.
Salah satu upaya yang dilakukan Pemprov Jatim untuk turunnya angka kemiskinan ekstrem itu, yakni dengan menyalurkan berbagai program bantuan sosial (bansos).
Menanggapi hal tersebut, Emil Elestianto Dardak Wakil Gubernur Jatim menilai pencapaian ini adalah hasil kerja keras seluruh elemen. Baik dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten dan kota, bahkan hingga ke tingkat desa.
Selain itu, menurut Emil, ini juga hasil kerja keras lintas elemen. Sebab ada peran serta elemen masyarakat dalam mewujudkannya.
“Oleh karena itu, yang kita beri selamat adalah masyarakat Jawa Timur. Karena telah menunjukkan dengan semangat Jer Basuki Mawa Beya, saling bahu-membahu untuk bisa mengeradikasi kemiskinan ekstrem yang ada di Jawa Timur. Ini boleh dibilang drastis ya, dari 4,4 persen menjadi 0,82 persen dalam waktu kurang lebih tiga tahun,” terang Emil dalam program Wawasan Radio Suara Surabaya pada Selasa (9/1/2023) pagi.
Emil mengatakan, salah satu faktor yang berpengaruh adalah pengalaman Khofifah yang pernah menjabat Menteri Sosial RI. Sehingga Khofifah, menurut Emil, punya visi dan leadership yang luar biasa untuk pengatasan kemiskinan.
Emil kemudian membeberkan tiga kata kunci dalam mengatasi kemiskinan, yakni sinergi, suplemen, dan sinkronisasi.
Suplemen adalah ketika pemerintah provinsi juga masuk dalam celah-celah yang belum ter-cover oleh bantuan dari pemerintah pusat. Pemerintah provinsi mengeluarkan anggaran untuk mengisi lubang-lubang itu.
“Kami juga mendorong agar pemerintah kabupaten dan kota juga melakukan itu. Nah ini pernah kami lakukan, misalnya untuk mereka yang tidak punya BPJS kesehatan. Karena mungkin memang tidak masuk. Karena begini, kita kan mengacu kepada ada namanya DPKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial), nah data ini sangat dinamis,” ujar Emil.
Hal ini karena berbagai faktor. Contoh, seseorang masuk kategori miskin ekstrem jika pendapatan per bulan Rp322.170. Namun terkadang mereka yang gagal panen bisa masuk kategori tersebut.
“Inilah tugas dari kepala desa, kepala dinas sosial kabupaten dan kota, untuk update secara periodik. Namun tidak sesederhana itu. Jika ada yang belum masuk data penerima bantuan Kartu Indonesia Sehat atau BPJS Kesehatan, maka Pemprov bisa masuk, Pemerintah Kabupaten dan Kota bisa masuk. Nah itu contoh suplemen,” terangnya.
Aspek selanjutnya adalah sinergi. Dalam hal ini melibatkan instansi lain di luar dinas sosial untuk bergotong royong mengentaskan kemiskinan.
“Jadi semua dinas harus mengintegrasikan datanya, atau kita sebut Big Data Kemiskinan. Kami mendorong sinergi lintas program. Jadi kemiskinan bukan cuma urusan dinas sosial, tapi urusan semua dinas,” ujar Emil.
Poin ketiga adalah sinkronisasi. Begitu mendapat data yang lebih update, akan memudahkan pemerintah provinsi untuk memastikan program pemerintah pusat tepat sasaran
“Strateginya, pertama mengurangi pengeluaran, kedua meningkatkan pendapatan, ketiga mengatasi kantong-kantong kemiskinan. Jadi sinkronisasi adalah menajamkan sasaran-sasaran program itu,” terang Emil.
Dalam kepemimpinan Khofifah-Emil, Pemprov Jatim berupaya menurunkan beban pengeluaran rumah tangga miskin lewat Program Keluarga Harapan (PKH) Plus dan Asistensi Sosial Penyandang Disabilitas (ASPD).
PKH Plus bertujuan untuk mengurangi beban pengeluaran Keluarga Penerima Manfaat (KPM) yang memiliki anggota keluarga lansia di atas 70 tahun.
Sedangkan terkait program ASPD lebih mengutamakan kepada penyandang disabilitas berat. Masing-masing penerima manfaat mendapat Rp3,6 juta per tahun yang disalurkan dalam empat tahap. Sekitar 15 ribu orang disebut telah menerima manfaat program ini.
Sementara itu, Rumayya Batubara dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Airlangga (Unair) mengapresiasi penurunan kemiskinan ekstrem di Jatim.
“Saya melihat angka pengentasan kemiskinan cukup fantastis. Pada 2022 ini 3,6 persen, lalu pada 2023 tinggal 0,8 persen. Jadi luar biasa penurunannya kemiskinan ekstrim di Jawa Timur,” katanya ketika mengudara di Radio Suara Surabaya.
Rumayya menyebut, kemiskinan ekstrem dapat dijabarkan sebagai orang-orang yang mengalami kemiskinan sangat parah. Hal ini banyak dialami orang tua hingga difabel.
“Jadi ini orang-orang yang memang sangat perlu dibantu. Makanya pendekatan dari pemerintah itu seperti pemberian bantuan sosial itu sangat efektif. Sebab agak susah untuk dibantu dengan yang sifatnya produktif,” terangnya.
Ia menambahkan bahwa pertumbuhan ekonomi Jawa Timur secara konsisten bagus di level nasional. Namun pekerjaan rumahnya adalah pengentasan kemiskinan dan mengatasi ketimpangan.
“Memang perlu pertumbuhan untuk mengurangkan kemiskinan. Jadi kalau pertumbuhan ekonomi terjadi, artinya seharusnya menjadi peningkatan pendapatan buat seluruh penduduk. Nah cuma ada perbedaan dari kelompok pendapatan menengah, atas, dan bawah itu bisa jadi berbeda-beda menikmati pertumbuhannya,” urainya.
“Memang perlu pertumbuhan untuk mengurangkan kemiskinan. Jadi kalau pertumbuhan ekonomi terjadi, artinya seharusnya menjadi peningkatan pendapatan buat seluruh penduduk. Nah cuma ada perbedaan dari kelompok pendapatan menengah, atas, dan bawah itu bisa jadi berbeda-beda menikmati pertumbuhannya,” urainya.
Rumayya menambahkan bahwa pertumbuhan di ekonomi bisa dilihat dari berbagai sektor. Seperti manufaktur, jasa, hingga sektor pertanian.
“Memang secara tradisional sektor pertanian itu banyak orang miskinnya. Tapi ketika sektor itu tumbuh bisa mengurangi kemiskinan. Tapi ada juga studi yang menemukan justru sektor jasa itu lebih efektif mengurangi kemiskinan,” imbuhnya.
Kemudian Rumayya menyorot sejumlah program yang dicanangkan Pemprov Jatim. Seperti PKH Plus dan ASPD. Ia mengacungkan jempol kepada Pemprov Jatim yang terus berinovasi untuk menurunkan kemiskinan ekstrem hingga mencapai 0,82 persen.
Ia juga menyorot kalangan menengah ke bawah. Sebab mereka tidak cukup miskin untuk mendapat bantuan dari pemerintah, namun tak cukup sejahtera, sehingga sangat rentan. Begitu ada shock sedikit, mereka bisa jatuh ke jurang kemiskinan.
“Bagaimana kalangan menengah ini tidak jatuh ke bawah? Kuncinya adalah melakukan suatu upaya integrasi dengan ekonomi atas. Kuncinya berjejaring. Bagaimana kelas menengah ini berjejaring dengan kelas di atasnya agar mendapatkan nilai tambah dari aktivitas ekonomi kelas yang lebih tinggi,” jelasnya. (saf/ham/ipg)