Jumlah penduduk miskin di Jawa Timur hingga Maret 2018 mencapai 4.332,59 ribu jiwa atau 10,98 persen dari total jumlah penduduk di Jatim, meski garis kemiskinan mengalami peningkatan 3,68 persen.
Berdasarkan data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), garis kemiskinan meningkat Rp13.272 per kapita per bulan pada periode September 2017-Maret 2018. Dari Rp360.302 menjadi Rp373.574 per kapita per bulan pada Maret 2018.
Namun secara umum, mulai periode September 2017-Maret 2018 tingkat kemiskinan di Jatim mengalami penurunan, kecuali pada September 2013 dan Maret 2015.
Peningkatan angka kemiskinan pada September 2013 dan Maret 2015, disebabkan oleh kenaikan harga barang kebutuhan pokok, yaitu bahan bakar minyak.
“Perkembangannya, sejak Maret 2011, angka kemiskinan kita itu menurun cukup banyak. Tapi 2013 melonjak sedikit, karena harga BBM naik. Setelah itu, mulai menurun sebesar 0,22 persen,” kata Teguh Pramono Kepala BPS Jatim, saat ditemui suarasurabaya.net, Kamis (16/8/2018).
Dalam penghitungannya, BPS menggunakan Garis Kemiskinan sebagai batas antara penduduk miskin dan tidak miskin. Sehingga penduduk terkategori miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan.
Sementara Garis Kemiskinan merupakan harga yang dibayar oleh kelompok acuan untuk memenuhi kebutuhan pangan sebesar 2.100 kkal per kapita per hari dan kebutuhan non-pangan esensial seperti perumahan, sandang, kesehatan, pendidikan, transportasi, dan lainnya.
“Kenapa diambil dari pengeluaran, karena angka pendapatan kita tidak cukup bagus dan tidak bisa tepat perhitungannya. Susah kalau diliat dari segi pendapatan. Belum tentu, orang yang penghasilannya besar bisa memenuhi kebutuhan kalorinya dan hidupnya sejahtera. Belum tentu juga, orang yang penghasilannya sedikit itu menderita. Karena dari penghasilan itu, harus dilihat berapa banyak orang atau keluarganya yang ditanggung untuk memenuhi kebutuhan makan,” kata dia.
Teguh mengatakan peranan komoditi makanan terhadap garis kemiskinan jauh lebih besar dibanding peranan komoditi bukan makanan seperti perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Pada bulan Maret 2018, kontribusi garis kemiskinan makanan terhadap garis kemiskinan sebesar 74,24 persen.
Kenaikan garis kemiskinan di perkotaan lebih tinggi dibanding di perdesaan. Garis kemiskinan untuk perkotaan meningkat sebesar 3,33 persen dan untuk wilayah perdesaan sebesar 3,88 persen. Tingginya kenaikan garis kemiskinan tersebut meliputi garis kemiskinan makanan (3,53 persen untuk perkotaan dan 4,48 persen untuk perdesaan) dan garis kemiskinan bukan makanan (2,81 persen untuk perkotaan dan 2,08 persen untuk perdesaan).
Pada Maret 2018, komoditi makanan yang memberikan sumbangan terbesar pada Garis Kemiskinan baik di perkotaan maupun di perdesaan pada umumnya sama, seperti beras yang memberi sumbangan sebesar 22,41 persen di perkotaan dan 25,61 persen di perdesaan.
Rokok kretek filter menjadi penyumbang terbesar kedua Garis Kemiskinan (10,19 persen di perkotaan dan 9,77 persen di perdesaan). Komoditi lainnya yang mempengaruhi adalah telur ayam ras, gula pasir, daging ayam ras, tempe, dan tahu.
“Komoditas yang paling berpengaruh dan sensitif yaitu beras, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Kalau harga beras goyang sedikit saja, bisa berpengaruh banyak pada rakyat miskin. Selain beras, rokok ternyata juga komoditas yang berpengaruh dan termasuk dalam kebutuhan. Pengeluaran terhadap rokok hampir 10 persen dari pengeluaran rumah tangga,” kata dia.
Ditinjau secara daerah kota dan desa, lanjut dia, selama periode September 2017-Maret 2018 terjadi penurunan untuk persentase penduduk miskin di perkotaan dan perdesaan.
Persentase penduduk miskin di daerah perkotaan pada September 2017 sebesar 7,13 persen turun menjadi 7,06 persen pada Maret 2018. Sementara persentase penduduk miskin di daerah perdesaan pada September 2017 sebesar 15,58 persen turun menjadi 15,30 persen pada Maret 2018.
Faktor Turunnya Kemiskinan
Adapun beberapa faktor yang terkait dengan penurunan persentase penduduk miskin. Antara lain:
1. Selama periode September 2017-Maret 2018 terjadi inflasi umum sebesar 1,78 persen.
2. Selama periode September 2017-Maret 2018 beberapa komoditi makanan mengalami perubahan
indeks harga konsumen (IHK), yaitu komoditi beras mengalami kenaikan 11,42 persen, penurunan
indeks terjadi pada komoditi gula pasir, tahu mentah dan tempe mentah.
3. Indeks upah buruh tanaman pangan mengalami kenaikan sebesar 5,51 persen, yaitu dari 136,91
pada September 2017 menjadi 144,46 pada Maret 2018.
4. Terbantu dengan program pemerintah Jatim, seperti program beras sejahtera (Rastra), Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) dan bantuan sosial lainnya.
Persentase Penduduk Miskin Kabupaten atau Kota di Jatim
Teguh mengungkapkan ada enam kabupaten atau kota di Jatim, yang persentase kemiskinannya masih diatas 20 persen, atau jauh dari rata-rata dan masih tergolong tinggi.
Di antaranya Kabupaten Sampang 23,56 persen, Kabupaten Bangkalan 21,32 persen, Kabupaten Probolimggo 20,52 persen, Kabupaten Sumenep 19,62 persen, Kabupaten Tuban 16,87 persen, dan Kabupaten Pacitan 15,42 persen.
Sementara untuk kabupaten atau kota yang persentase kemiskinannya rendah, yaitu Kota Malang 4,17 persen, Kota Batu 4,31 persen, dan Kota Madiun 4,94 persen.
“Keenam kabupaten itu memang dalam pengeluaran konsumsinya sangat rendah. Mungkin perhitungan orang, masyarakat di sana kan banyak yang haji, punya ini itu. Tapi dalam hal ini, itu tidak masuk dalam kategori kemiskinan. Kami menghitungnya berdasarkan seberapa besar karbohidrat, protein yang dipenuhi. Dan di daerah itu masih rendah. Sementara di tiga kabupaten atau kota yang terendah, banyak yang sudah bisa memenuhi kebutuhan konsumsinya,” jelasnya.
Teguh meyakini bahwa ke depan, persentase kemiskinan akan terus menurun. Tentunya, dengan usaha pemerintah yang juga harus diperkuat, mulai dari industri kecil, pertanian, pendidikan dan bantuan lainnya yang bisa menaikkan penghasilan dan kemampuan masyarakat.
Yang terpenting, kata dia, pemerintah juga harus mengontrol harga komoditas yang sangat sensitif terhadap penghasilan masyarakat miskin.
“Bayangan saya ke depan akan terus menurun. Tapi dengan speed yang bisa cepat atau lambat, sesuai faktor demografisnya. Karena masing-masing daerah punya masalah berbeda. Tapi saya yakin ke depan akan terus menurun. Ada hal yang harus diperhatikan, yaitu kenaikan harga komoditi, salah satunya beras. Itu juga harus dikontrol kenaikannya,” jelasnya. (ang)