Sabtu, 23 November 2024

Masyarakat Lebih Fokus Pilpres daripada Pileg, Perludem: Bisa Turunkan Kualitas Parlemen

Laporan oleh Billy Patoppoi
Bagikan
Ilustrasi surat suara Pemilu. Foto: Grafis suarasurabaya.net

Dibarengkannya pemilihan baik DPR, DPD, dan DPRD tingkat provinsi maupun kabupaten/kota dengan Pilpres, seringkali dikhawatirkan beberapa pengamat akan menggerus popularitas pemilihan legislatif (Pileg) tersebut.

Kekhawatiran tersebut juga dibenarkan Khoirunnisa Nur Agustyati Direktur Eksekutif Pembina Pemilu untuk Demokrasi (Perludem), yang menyebut popularitas dari Pilpres bisa saja menutupi Pileg.

Dia mengatakan, dengan banyaknya informasi soal pasangan calon hingga debat, sejauh ini membuat fokus masyarakat kebanyakan memang hanya tertuju ke Pilpres. Fenomena itu sedikit banyak akan mirip dengan Pemilu tahun 2019, yang juga sama-sama menghadirkan lima kotak suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS).

“Nah dengan Pemilu lima kotak ini pengalaman 2019 dan sekarang pun juga kita pakai undang-undang Pemilu yang sama, yang terjadi hampir semua pembicaraan hanya seputar pilpres. Padahal ada empat jenis Pemilu lainnya yang tidak kalah penting dengan pilpres gitu ya, ada (pemilihan) DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD kabupaten/kota dan DPD,” kata Nisa sapaan akrabnya waktu mengudara di program Wawasan Suara Surabaya, Rabu (3/1/2024).

Adapun format Pemilu serentak pada hari yang sama itu sebenarnya sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 55 Tahun 2019. Tapi menurut Nisa, Putusan MK tersebut sebetulnya tidak mengunci format harus lima kotak dalam sehari.

“MK itu sebetulnya membuat varian-varian keserentakan Pemilu seperti apa, sepanjang Pilpres, DPR, sama DPD-nya tetap harus bareng. Jadi kalau misalnya mau dipisah DPRD-nya dijeda dulu dua tahun baru ada Pemilu daerah, ya itu diperbolehkan. Itu sebenarnya bisa, tapi kan ini kemudian pilihannya pembentuk undang-undang, (dalam hal ini) DPR dan pemerintah mau memilih varian yang mana,” ucapnya.

Dia kemudian mengungkapkan suara tidak sah untuk DPR RI pada tahun 2019 lalu mencapai 17 juta surat suara. Jumlahnya terlalu besar jika dibandingkan dengan suara tidak sah di Pilpres, yang sekitar tiga persen dari 158.012.506 pemilih yang menggunakan hak suaranya.

Diungkapkannya kalau memang ada pemilih yang sengaja membuat surat suaranya tidak sah. Faktornya bisa karena bingung dengan para calon yang tak dikenali, hingga banyaknya surat suara yang diterima dalam satu kali sesi pencoblosan.

Untuk itu, salah satu cara memudahkan pemilih adalah memberikan akses informasi. Karena berkaca dari tingginya suara tidak sah di level DPR RI, akan menjadi pertanyaan, mengingat antusias masyarakat yang datang ke TPS untuk menggunakan hak suaranya cukup besar, mencapai 81 persen.

“Artinya kan orang sebetulnya bisa dikatakan antusias ya datang ke TPS. Nah tapi kemudian setelah di TPS itu, bagaimana mereka bisa memberikan suaranya dengan tepat, penuh kesadaran, mereka tahu ada informasi yang mereka bisa ambil sebelumnya, sebelum mereka memberikan pilihan politiknya,” ucapnya.

Soal dampak ke depan jika masyarakat terus menerus tidak terlalu peduli dengan pemilihan legislatif, lanjut Nisa, akan mempengaruhi kualitas sistem Presidensil Indonesia, di mana DPR sebagai legislatif menjalankan fungsinya melakukan check and balance kepada setiap keputusan pemerintah selaku eksekutif.

“Karena kalau kita melihat dari beberapa survei misalnya, publik juga melihat bahwa kinerja DPR kita dinilai belum baik, artinya mungkin ada yang belum berjalan dari fungsinya. Sehingga kalau ini (Pileg) terlupakan oleh masyarakat, tidak terlalu di prioritaskan dan orang hanya fokus pada pilpresnya saja, ya khawatirannya ini bisa menurunkan kualitas dari parlemen kita,” ungkapnya.

Perludem, kata dia, juga mengkritisi sistem Pemilu serentak yang menyertakan lima kotak suara dalam satu hari tersebut. Menurutnya, kompleksitas Pemilu tidak hanya dirasakan pemilih, tapi juga memberatkan dari pihak penyelenggara.

“Dari sisi penyelenggara pemilu, misalnya kita lihat dari 2019 yang lalu beban kerja petugas ini sangat berat. Nah kalau 2019 yang lalu kan kita berduka hampir dari 800 orang meninggal sehingga petugas, karena kelelahan,” jelasnya.

Selain itu, ada potensi caleg di tingkat kabupaten/kota justru akan membawa isu nasional sebagai bahan kampanyenya. Padahal, menurutnya tingkat kabupaten/kota memiliki isu masing-masing yang jelas berbeda.

“Tapi karena hampir setiap hari pembicaraannya adalah pilpres, yang itu isu nasional, sehingga ketika kampanye pun mereka (caleg daerah) ya membawakannya isu-isu nasional,” ucapnya.

Terakhir, Nisa mengatakan kajian-kajian soal Pemilu serentak sebenarnya sudah banyak dilakukan. “Tinggal nanti pas Pemilu, DPR dan pemerintahan terpilih perlu mendiskusikan kembali,” pungkasnya. (bil/iss)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
27o
Kurs