Satria Unggul Wicaksana Pakar Hukum Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya menyebut, kasus penolakan sebagian warga Aceh terhadap ratusan pengungsi Rohingya saat hendak berlabuh dengan perahu kayu dapat memicu kekacauan dan mempertegas gesekan antar warga di masa depan.
Hal itu ia katakan, setelah terjadi aksi pengusiran sepihak yang dilakukan oleh beberapa mahasiswa di Aceh Besar terhadap pengungsi Rohingya.
“Tentu hal ini harus diketahui, apa perbedaan konsepsi antara pencari suaka (asylum seekers) dan pengungsi (refugees). Jika berkaitan dengan pencari suaka, maka negara memiliki otoritas penuh dalam menerima atau menolak orang yang tidak memiliki alasan mengapa mereka berhijrah dari negara asal ke negara tujuan,” katanya, pada Sabtu (30/12/2023)
Satria menjelaskan, pengungsi macam Rohingya adalah orang atau kelompok yang mengalami persekusi di negara asalnya atas nama ras, suku, etnis dan budaya. Sehingga tidak ada pilihan lain selain keluar dari negara asalnya.
Hal tersebut, kata dia, diatur dalam Konvensi Jenewa 1951 tentang status pengungsi dan protocol tambahan 1967, yang pada Pasal 33 ada prinsip non-refoulement, dimana semua negara baik yang telah meratifikasi di Konvensi Jenewa 1951 ataupun tidak, dapat menerima mereka yang masuk kategori sebagai refugee.
Termasuk dalam kasus Rohingya, menurutnya harusnya mereka dapat diterima dan tanpa dipersekusi di Indonesia.
“Memang Indonesia tidak meratifikasi Konvesnsi Jenewa 1951, namun negara wajib melakukan screening siapa yang masuk layak menjadi refugee mendapat status screen in, dan siapa yang menjadi screen out. Bagi mereka yang screen in, mereka dilindungi dan dipenuhi hak-haknya oleh UNHCR, Lembaga internasional di bawah PBB yang menangani kasus pengungsi,” ucapnya.
Dalam kesempatan itu, ia juga menegaskan perlunya upaya diplomatik Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Myanmar, untuk memulangkan kembali mereka ke tempat asal apabila stabilitias politik telah pulih, dan hak-hak mereka dijamin untuk tidak dilanggar.
“Sehingga peran serta pemerintah dan negara Indonesia menjadi sangat penting, termasuk mendorong ASEAN sebagai organisasi regional di kawasan Asia Tenggara untuk memberikan bantuan kemanusiaan dan menaikkan peran dan komitmen tingginya untuk menyelesaikan polemik kasus Rohingya tersebut,” pungkasnya. (ris/bil/ipg)