Sri Mulyani Indrawati Menteri Keuangan menyebut penerimaan pajak menjadi instrumen yang diperhatikan untuk kebijakan fiskal pada tahun depan.
Pasalnya, penerimaan pajak pada 2021 dan 2022 mengalami pertumbuhan yang terbilang tinggi, yakni masing-masing 19,3 persen dan 34,3 persen year-on-year (yoy), setelah sempat terkontraksi sebesar 19,6 persen yoy pada 2020 akibat pandemi.
“Jadi, ini poin kritis terkait apakah kita bisa menjaga momentum pertumbuhan yang menjadi basis pajak kita,” kata Sri Mulyani dilansir Antara pada Jumat (22/12/2023).
Per 12 Desember 2023, pertumbuhan penerimaan pajak tercatat sebesar 7,3 persen yoy. Penerimaan pajak tahun ini terbilang melambat dibandingkan tahun sebelumnya, yang disebabkan oleh penurunan harga komoditas, penurunan nilai impor, dan tidak berulangnya kebijakan Program Pengungkapan Sukarela (PPS).
Namun, menurut Menkeu, pertumbuhan tersebut tergolong cukup impresif, mengingat baseline pertumbuhan pajak yang sudah tinggi pada tahun sebelumnya.
“Ini akan menimbulkan rasio pajak (tax ratio) membaik dan kita bisa membuat fokus belanja menjadi lebih baik. Ini poin kritisnya, yaitu quality spending dan speed of spending seperti tahun ini,” ujar Menkeu.
Adapun dari sisi pembiayaan, Bendahara Negara mengatakan akan memperkuat sisi pasar modal, seperti memperdalam obligasi.
Pasalnya, kebijakan suku bunga yang tinggi pada 2023 membuat jaring pengaman penyangga (buffer safety net) untuk pembiayaan mengalami pergolakan yang cukup kencang.
“Setiap kali Ketua Federal Reserve Jerome Powell mau berbicara, volatilitas dari sisi saham maupun bond market itu luar biasa. Jadi, kita harus melihatnya secara hati-hati, sehingga basis pembiayaan juga lebih stabil,” jelas dia.
Dengan penerimaan pajak yang baik dan pembiayaan yang stabil, maka fiskal negara dapat berfokus pada upaya mendongkrak pertumbuhan.
“Itu dari sisi kebijakan fiskal kita. Jangan sampai fiskal Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menjadi sumber masalah,” tutur Menkeu. (ant/saf/iss)