Fotokopi KTP akan tidak berlaku lagi sebagai prasyarat mengurus data kependudukan mulai 1 Januari 2024 mendatang. Ini seiring dengan kebijakan baru pemerintah, dengan mengenalkan Identitas Kependudukan Digital (IKD).
Selama ini pengguna KTP-el masih membutuhkan fotokopi untuk keperluan mengakses layanan publik. Sedangkan pada pengguna IKD tidak lagi membutuhkan fotokopi sebab masyarakat hanya perlu mengakses IKD dari gawai.
IKD menjadi solusi masyarakat untuk tidak lagi menyerahkan berkas berupa fotokopi KTP-el saat mengurus sesuatu pada layanan publik. IKD juga diklaim dapat mencegah pemalsuan dan penyalahgunaan data, oleh pihak yang tidak bertanggungjawab.
Kemendagri menjelaskan, keberadaan IKD tidak berarti menghapus KTP-el. Keduanya saling melengkapi dan tetap berlaku. Mengingat beberapa kondisi seperti penduduk yang tidak memiliki ponsel, atau mereka yang tidak terbiasa menggunakan gawai.
Teguh Setyabudi Dirjen Dukcapil menjelaskan, aktivasi IKD tidak bersifat wajib. Meski demikian, pemerintah mengimbau agar masyarakat melakukan aktivasi itu.
Lantas apakah Anda optimistis pengurusan kependudukan tanpa fotokopi KTP-el pada 2024?
Dalam diskusi di program Wawasan Polling Suara Surabaya pada Kamis (21/12/2023) pagi, sebagian besar masyarakat pesimistis pengurusan kependudukan tanpa fotokopi KTP-el pada 2024.
Dari data Gatekeeper Radio Suara Surabaya, dari 19 pendengar yang berpartisipasi, 12 di antaranya (63 persen) pesimistis pengurusan kependudukan tanpa fotokopi KTP-el pada 2024. Sedangkan tujuh lainnya (37 persen) mengaku optimistis.
Sementara itu, dari data di Instagram @suarasurabayamedia, sebanyak 103 votes (60 persen) pesimistis pengurusan kependudukan tanpa fotokopi KTP-el pada 2024. Sedangkan 70 lainnya (40 persen) mengaku optimistis.
Menyikapi hal itu, Dian Purnama Anugerah dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair) mengatakan, imbauan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) terkait larangan fotokopi KTP-el itu sudah tepat.
“Namun yang harus bisa dipastikan adalah bagaimana pemrosesan data bisa dilakukan dengan aman dan akurat,” kata Dian ketika mengudara di Radio Suara Surabaya.
Dian mengatakan bahwa pada saat ini ada banyak layanan yang mengharuskan masyarakat foto di depan KTP. Menurut Dian, pemilik layanan sebenarnya dibebani tanggung jawab untuk memastikan data aman. Selain itu, mereka juga wajib memastikan data yang diberikan tidak diakses secara ilegal.
Sebab, menurut Dian, hal tersebut telah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP).
“Seharusnya pelaku usaha yang menghimpun data pribadi konsumen, harus melindungi karena itu sudah diatur oleh undang-undang,” imbuhnya.
Hal yang sama juga berlaku untuk instansi pemerintahan yang menghimpun data dari masyarakat. Menurut Dian, pemerintah harus menyiapkan sistem keamanan yang super dan andal agar data-data tersebut tidak diretas dan digunakan tidak sesuai peruntukannya.
“Kira-kira dua tahun lalu banyak data pribadi salah satu marketplace yang bocor dan itu diperdagangkan di black market. Sebab sekarang properti tidak hanya dalam bentuk benda. Sekarang perdagangan itu dalam bentuk data. Jadi data itu sangat esensisal,” tegasnya.
Maka masyarakat diimbau untuk mengetahui penggunaan data itu untuk apa dan oleh siapa. Sebab, jika mengacu UU PDP, harus ada persetujuan atau perjanjian ketika akan menggunakan data dari masyarakat.
“Kalau dalam aspek administrasi kependudukan, pemerintah harus memastikan penggunaan data yang akan dipakai oleh masing-masing instansi, digunakan untuk peruntukannya. Tidak boleh digunakan untuk hal lain di luar instansi tersebut,” jelasnya.
Lalu jika terjadi kebocoran data, maka masyarakat tidak bisa melakukan upaya untuk menutupi itu. Sebab kewajiban ada di pengendali dan pemroses data pribadi.
“Kalau ada kebocoran, masyarakat bisa menggugat menggunakan class action jika bicara kerugian secara berkelompok, atau citizen lawsuit dengan cara menuntut pemerintah melakukan tindakan untuk mencegah kebocoran itu,” terangnya.
Mengakhiri keterangannya, Dian sekali lagi mengingatkan bahwa masyarakat harus lebih hati-hati dalam menggunakan data pribadi ketika memakai layanan, baik di badan publik maupun layanan komersial lainnya.
“Masyarakat harus tahu betul sejauh mana data itu dibutuhkan oleh layanan tersebut. Masyarakat harus meminimalkan dan tidak mengobral data masing-masing,” tegasnya. (saf/faz)